Recent Posts

5.10.11

Kenangan di Pematang Sawah

Junaidi! Di pematang sawah ini, aku mengenangmu. Mengenang kisah hidupmu, mengenang kisah-kisah yang kau ceritakan, dan kisah antara kau dan aku.
”Ibuku petani,” katamu suatu kali. ”Dia sering mengajakku ke sawah. Dia selalu berpesan padaku, ’Kalau kau besok sudah jadi orang yang berhasil, jangan lupa akan sawah ini. Inilah yang membuatmu bisa sekolah.’ Aku selalu pergi ke sawah itu. Kadang bekerja, kadang hanya sekedar mengenang dan menyendiri,” katamu.
Suatu saat kau mengajakku ke situ. Sejak pagi kita berada di sana. Menyiangi padi. Tak bisa kulupakan saat-saat itu. Hamparan padi yang menghijau. Berkali-kali aku memandanginya. Sore menjelang senja, kita duduk di pematang sawah itu.
”Kau suka suasana ini?” tanyamu.
”Ya, ada sesuatu yang tak terkatakan muncul dalam hatiku.”
”Harapan?” tanyamu. Aku terkejut. Tak kusangka kau tahu isi pikiranku.
”Dari mana kau tahu?”
”Aku hidup dan besar di sawah ini. Padi-padi ini mengajariku. Ya, saat kau menghayati apa yang kau kerjakan, kau akan belajar banyak tentang kehidupan darinya,” katamu.
Kita duduk lama sekali. Tak banyak kata yang keluar dari mulut kita. Akhirnya kau memecahkan keheningan itu.
”Mengapa kau mau ikut ke desa ini?”
”Aku hanya mengikuti kata hatiku.” Saat itu kau diam. Lama sekali. Kau habiskan sebatang rokok tanpa bicara apapun.
Lalu kau mengajakku pulang. ”Aku belum ingin pulang. Aku merasa damai di sini,” kataku. Kutahu, hari sudah sore. Di ujung sana ada senja.
”Jika kau ingin, kapan-kapan kita bisa ke sini lagi.” Akhirnya kita pulang. Masih kuingat kata-kata terakhirmu di pematang sawah itu, ”Kamu boleh kehilangan segala sesuatu, kecuali harapan. Itulah harta para petani yang paling berharga. Harapan akan datangnya hujan. Harapan akan tumbuhnya tanam-tanaman. Harapan akan panen yang melimpah.” Kata-katamu itu, kuukir di hatiku. Aku takkan pernah lupa itu.
Dan kini, aku duduk sendirian di pematang sawah ini. Bukan di pematang sawah tempat kita dulu. Tapi di sawah yang berbeda. Kulihat hamparan padi menghijau. Dan kuingat satu kata: harapan.
Suatu kali kau bercerita. ”Saat aku masih kecil, ayahku meninggal. Ibu sendirian membesarkan kami. Pagi hari ia menyuruh kami ke ladang sebelum sekolah. Mengambil singkong, mengambil kayu bakar. Mengantarkan kerbau ke padang rumput. Lalu kami pulang ke rumah, mandi, sarapan dan pergi sekolah. Malam hari, aku sering melakukan suatu ritual: mengintip apa saja yang dilakukan ibuku. Biasanya, setelah ia mengira semua anaknya sudah tidur, ia menganyam tikar. Setelah itu ia siapkan bahan masakan untuk pagi. Dan terakhir, inilah yang paling membuatku terperangah, ia berdoa kira-kira seperempat jam. Kadang sambil menangis. Sering aku dengar samar-samar doanya: Allah, kepadaMu aku berharap. Semoga api harapan itu Kau tanamkan di hati anak-anakku ini, supaya mereka kelak berhasil dalam hidupnya.”
Saat kau terdiam, aku berkata, ”Sekarang aku tahu kenapa kau selalu memutar lagu ’Di doa Ibuku’.” Kau hanya tersenyum.
Junaidi. Pertama kali aku mengenalmu saat kita mengerjakan tugas seminar di bangku kuliah dulu. Ya, di fakultas pertanian. Kau selalu tenang. Tak banyak kata. Namun setiap kata yang kau keluarkan terasa bermakna. Ide-idemu cemerlang. Dan kau tahu, saat itu ada sesuatu daya yang memancar darimu, yang menumbuhkan sesuatu di dalam hatiku.
Suatu malam, aku sangat terkejut. Di restoran itu, kau membawa daftar menu ke meja kami. Saat itu aku seperti tak percaya akan apa yang kulihat. ”Kau??? Kau??? Junaidi???”
Kau hanya tersenyum. Menganggukkan kepala. ”Aku bekerja di sini kalau malam hari,” katamu.
Setelah tiga bulan berkenalan, kita berteman. Pacaran.
”Ada suatu kisah,” kau bercerita pada suatu malam. ”Suatu pagi, seorang putri istana berjalan-jalan di tepi hutan. Ia bertemu seekor rubah. Melihat rubah itu, sang putri jatuh cinta. Mereka akhirnya pacaran. Si rubah berkata, ’Putri, aku hanyalah seekor binatang hutan. Aku hidup bebas di sini. Mencintaimu, aku merasa tak pantas. Kau adalah putri istana. Lagi pula, barangkali suatu saat aku akan pergi entah ke mana. Aku tak mau membuatmu kecewa. Tinggalkan aku, Putri. Biarkan aku hidup bebas’.”
Masih ingatkah kau, Junaidi? Saat ceritamu sampai pada titik itu, aku menangis. Aku tahu ke mana arah ceritamu.
”Kenapa kau menangis?” tanyamu.
”Tidak. Rubah itu tidak boleh pergi. Cinta mereka akan abadi.” Kataku, namun dalam hati kecilku, kutahu rubah itu akan pergi.
Kita jalani hari-hari, minggu, bulan dan tahun-tahun kuliah kita. Kau sering mengajakku ke kampungmu. Ke sawah itu. Aku sangat sayang pada ibumu, dan pada adik-adikmu. Ibumu juga sangat sayang padaku.
”Kau tahu, Nak, saat ayah mereka pergi, hidupku berantakan,” kata ibumu saat kami berdua berada di sawah itu. ”Sendirian menyekolahkan lima anak bukanlah hal yang mudah. Namun apa yang kulakukan? Aku bangkit, Nak. Aku ingat kata-kata ibuku dulu saat aku mau menikah. ’Putriku, kau tahu apa yang membuat ibu mampu bertahan menghadapi aneka macam penderitaan yang menimpa ibu? harapan! Sebanyak atau seberat apapun nanti masalah yang kau hadapi, jangan pernah kehilangan harapan. Karena harapanlah hal terindah dalam hidup kita.’ Itulah, Nak, yang selalu mengiang di hatiku, sehingga aku bisa menyekolahkan mereka semua.”
Junaidi! Perlahan-lahan, kata itu tumbuh dan berkembang dalam hatiku, dalam hidupku. Memang, tak selalu mudah untuk berharap. Aku tahu itu saat si rubah pergi.
”Aku akan pergi,” katamu dulu. Kau tinggalkan aku. Kau tinggalkan ibu dan keluargamu. Kau tinggalkan segalanya. ”Aku ingin pergi, menjadi sang pengelana ditengah padang nan gersang ini,” katamu sedikit puitis. Dan saat itu, aku hanya bisa menangis. Setelah berbulan-bulan, barulah muncul kembali kata itu, harapan. Aku bangkit, aku membangun hidupku. Aku tahu, kau takkan pernah kembali.
Setelah kepergianmu, beberapa kali hidupku runtuh. Musibah itu menimpa keluargaku. Perusahaan ayah bangkrut. Ayah stroke. Tak lama kemudian ia meninggal. Ibuku terserang kanker payudara. Dan kau tahu, hidup kami berantakan.
Saat-saat itu, aku seperti kehilangan segalanya. Bahkan kehilangan Tuhan. Mengapa di saat kami mengalami gelap yang paling gelap, Tuhan hanya diam? Tak memberi cahaya? Setahun kemudian, aku teringat pesan terakhirmu dulu di pematang sawah itu, ”Jangan pernah kehilangan harapan.” Dan perlahan-lahan, imanku kembali. Harapanku kembali. Tuhanku kembali.
Kini aku bekerja di desa ini sebagai penyuluh pertanian. Aku telah menikah dan mempunyai dua orang anak.
Minggu lalu aku sangat terkejut melihatmu berpidato didepan khalayat ramai.”Kadang-kadang, kita seperti berada di reruntuhan,” katamu. ”Tanpa masa depan. Yang ada hanya tangisan. Namun tahukah kalian? Kita bisa bangkit, kita bisa membangun kembali reruntuhan itu kalau kita memiliki satu hal: harapan. Saat hidup Anda runtuh, Anda bisa bangkit kalau bulir-bulir harapan itu Anda biarkan hidup. Anda boleh kehilangan segala sesuatu, kecuali harapan.” Setelah lama melang-lang buana, ternyata kau kembali ke kota ini, tapi tidak seperti dulu lagi. Kau sudah berhasil. Junaidi, di tengah hamparan padi ini, kulihat bulir-bulir itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More