Terkadang aku merasa bersalah, karena telah membawa mereka ke dalam kehidupan seperti ini. Hidup yang tak jelas masa depannya. Hidup yang hanya bertumpu pada barang rongsokan. Barang rongsokan menjadi sarana penyambung hidup kami. Kalau mendapat banyak, aku akan sangat senang kembali kerumah. Tapi kalau sedikit! Ah… begitu berat rasanya kembali ke rumah dan aku ingin mencari rongsokan sampai malam tiba. Itulah sebabnya aku harus bangun lebih awal dan segera mencari rongsokan supaya tidak didahului orang lain yang nasibnya sama seperti aku. Inilah hidup, hidup yang dipenuhi dengan persaingan, bahkan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak berguna untuk orang kaya pun harus kami perebutkan.
Setiap harinya, aku harus menyusuri jalan raya untuk mencari barang rongsokan. Kadang aku harus mencari di selokan dan sungai-sungai yang sudah penuh dengan kotoran hewan bahkan kotoran manusia yang tak peduli lagi akan kebersihan lingkungan. Sebenarnya, kalau di setiap lokasi perumahan tidak ada tulisan pemulung, pengamen, dan pengemis di larang masuk, aku tak usah susah payah berjalan puluhan kilometer mencari barang rongsokan atau di sungai-sungai yang sudah tercemari kotoran. Barang rongsokan dan plastik yang dibuang orang-orang yang bermukim di sana sudah cukup untuk mengisi karungku sampai penuh. Tapi yang terjadi bukanlah demikian. Tulisan itu begitu jelas terpampang di jalan masuk lokasi perumahan itu. Saya tidak tahu, apa alasan mereka membuat tulisan itu. Mereka pikir kami ini siapa? Pencuri? Penjahat? Atau setan?. Mungkin lebih baik tulisan itu diganti dengan kata-kata ini pemerintah, pejabat dan pengusaha dilarang masuk, karena merekalah yang lebih banyak menghabiskan uang rakyat. Aku rasa akan lebih aman kalau demikian. Dan kalau dipikir-pikir, kami malah membantu mereka membersikan pekarangan dan tong sampah mereka.
Aku pernah memberanikan diri untuk masuk. Ketika masuk satpamnya tidak berada di pos jaga. Akupun dengan leluasa mengumpulkan barang bekas dan plastik-plastik yang ada di tong sampah. Karung yang kubawa pun penuh dengan waktu yang sangat singkat dan aku tidak perlu lagi berjalan jauh seperti hari sebelumnya. Tapi sungguh tak kuduga, seorang satpam telah berdiri di pintu keluar dan alat pemukul telah siap di tangannya. Sepertinya ia sudah lama mengamatiku. Belum sempat aku mengatakan sepatah katapun, satu pukulan sudah mendarat di dadaku. Saat itu aku mencoba melawan, tapi saat aku mencoba untuk berdiri, kepalan tangan satpam itu sudah kembali mendarat dan kali ini tepat di wajahku. Tak henti-hentinya ia memaki aku. Bukan itu saja, barang rongsokan yang sudah kukumpulkanpun disita olehnya dan aku pulang dengan tangan kosong.
Saat itu beban hidupku sangat berat, istriku yang sangat kucintai sedang mengandung anak kami yang kedua dan akan segera melahirkan. Aku tak punya uang simpanan untuk membiayai persalinannya. Sepeserpun aku tak punya. Semua hasil yang kukumpulkan hanya cukup memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Aku marah pada diriku sendiri. Aku merasa orang yang paling tidak bertanggung jawab. Kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan, apa yang harus kulakukan sekarang? Tidak mungkin aku pulang, apa yang akan kukatakan kepada istriku? Aku tidak mau menunjukan luka tonjokan yang di wajahku. Oh……Tuhan apa yang harus kulakukan? Mengapa semua ini terjadi padaku?
Sesampainya di rumah, dia menyambutku dengan senyumnya. Dia telah menyiapkan teh manis hangat dan ubi goreng seperti hari-hari sebelumnya. Di balik senyumnya aku menemukan satu harapan bahwa aku akan membawa kabar baik tentang hasil pencarianku hari itu. Tetapi harapannya sirna ketika melihat wajahku yang bengkak karena tonjokan. Ia sangat terkejut dan tanpa banyak kata ia mengambil air hangat dan langsung membersihkan luka memar di wajahku. Saat dia membersihkan wajahku aku mulai bercerita tentang kejadian siang itu. Air matanya seperti sungai saat dia mengetahui kejadian yang sebenarnya. Saat aku mengakhiri semua ceritaku, ia semakin mendekat dan memeluku. Mungkin dalam hatinya ia berkata “ Maafkan aku Mas, aku tak mampu membantumu di saat seperti ini.” Menyaksikan semua yang terjadi malam itu, dalam hatiku tumbuh semangat untuk memberikan yang terbaik untuk istri dan anak-anakku. Aku akan selalu rajin bekerja dan berusaha untuk bangun secepat mungkin untuk mengumpulkan barang rongosokan di sepanjang jalan.
* * * * * * *
Ketika malam tiba, setelah istri dan anakku sudah tidur, aku berlutut memohon kekuatan dari pada-Nya. Tak lupa juga aku mendoakan istri dan anakku. Dalam doa aku selalu memohon “Yesus Tuhanku, lindungilah istri dan anakku. Kuatkanlah mereka agar mampu menerima situasi-situasi sulit dalam hidup ini. Jagalah hati mereka dari iri dan dengki terhadap mereka yang kaya. Kuatkanlah jiwa mereka, bimbinglah di jalan-Mu. Kuatkanlah juga aku agar mampu menopang kehidupan keluarga. Tuhan hanya Engkaulah harapanku satu-satunya. Ya, Bunda Maria yang baik hati dampingilah kami selalu. Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu terpujilah engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuhmu,Yesus. Santa Maria bunda Allah doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati.” Amin.
Doa inilah yang selalu ungkapkan setiap malam. Aku merasa tanpa Yesus hidupku tak berarti apa-apa. Dialah yang selalu memberikan kekuatan kepadaku. Dia yang selalu menemani perjalananku setiap hari. Tak pernah Ia tinggalkan aku, bahkan ketika aku mengalami kesusahan, Dia selalu hadir. Baik buruk nasibku di kemudian hari hanya Dia yang tahu, yang penting aku percaya bahwa Dia akan memberikan yang terbaik bagiku dan keluargaku. Memang!! Yesusku luar biasa.