This is default featured post 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured post 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured post 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured post 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured post 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
27.2.14
SIPASADA "SI-PENYATU"
27.6.13
BAH!!!
1.10.12
Marga Simanjuntak, titik!
Kegelisahan Raja Tartar dan Wasir itu juga dirasakan Jhonny Simanjuntak (28 tahun), generasi muda keturunan Raja Marsundung Simanjuntak dari Desa Hutabulu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir. “Saya tidak bisa menerima mengapa masih ada orangtua di kalangan marga Simanjuntak yang justru meneruskan mitos itu kepada anak-anaknya. Harus dihentikan, jangan lagi ada istilah Parhorbo Jolo dan Parhorbo Pudi. Makanya selama ini saya sering bermain ke Parsuratan, mereka itu juga saudaraku, dan ternyata tidak ada terjadi apa-apa seperti kata orang-orang,” kata Jhonny, Sekretaris SIPASADA Bonapasogit, kepada Koran Tapanuli.
Entah siapa yang memulai, ada sebuah cerita terkenal mengenai marga Simanjuntak, yaitu bahwa jika keturunan Raja Parsuratan Simanjuntak (dijuluki Parhorbo Jolo) bertemu dalam sebuah acara dengan keturunan Raja Mardaup Simanjuntak, atau Raja Sitombuk Simanjuntak, atau Raja Hutabulu Simanjuntak (dijuluki Parhorbo Pudi), maka konon akan terjadi hal-hal negatif. “Kalau berada dalam mobil yang sama, katanya mobil itu bisa rusak atau kecelakaan. Dang toho i,” kata Guntur Simanjuntak, mantan anggota DPRD Tobasa yang lebih dikenal sebagai pengusaha restoran mie Bahagia. Hujan lebat akan turun jika kedua pihak bertemu dalam upacara adat, tulis majalah Tempo pada 1991, dan bahkan nasi untuk pesta pun bisa tidak matang.
Tempo menulis, perselisihan sesama marga Simanjuntak ini telah berlangsung selama empat abad. Raja Marsundung, nenek moyang marga Simanjuntak, semasa hidupnya memiliki dua isteri. Yang pertama, Boru Hasibuan, meninggal saat putera tunggal mereka, Raja Parsuratan, masih kecil. Lalu Marsundung menikahi Boru Sihotang, yang melahirkan dua puteri dan tiga putera, yaitu Raja Mardaup, Raja Sitombuk, dan Raja Hutabulu. Saat Raja Marsundung meninggal, dia mewariskan seekor kerbau. Anak-anaknya dari kedua isterinya memperebutkan kerbau itu. Akhirnya mereka sepakat membaginya: bagian depan kerbau untuk sang abang, Parsuratan, dan adik-adiknya mendapat bagian belakang. Konon kemudian Parsuratan membunuh adik perempuannya, anak dari ibu tirinya Boru Sihotang, dengan maksud untuk menguasai kerbau itu. Boru Sihotang murka dan bersumpah: “Na so jadi mardomu anakku tu anakni Boru Hasibuan.” Hikayat inilah yang diteruskan turun-temurun sampai sekarang.
“Padahal kita tidak tahu kebenarannya, namanya juga mitos. Namun akibat dari kisah tersebut, harus kami akui, masih banyak sesama marga Simanjuntak tidak bisa akur terutama dalam pesta adat. Memang dalam kegiatan agama atau sosial, kami terlihat bisa akrab, tapi mengapa dalam adat tidak. Inilah yang harus dihapus. Cerita Parhorbo Jolo-Parhorbo Pudi hanyalah mitos, bahkan bisa jadi merupakan pembohongan oleh iblis supaya marga Simanjuntak terpecah-belah,” kata Wasir Simanjuntak kepada Koran Tapanuli. Dia meminta para orangtua Simanjuntak agar mendidik anak-anak mereka untuk bisa hidup berdampingan dengan seluruh keturunan marga Simanjuntak tanpa membuat pembatas antara “kita dan mereka”, Parhorbo Jolo atau Parhorbo Pudi.
Dalam silsilah Raja Marsundung Simanjuntak, Wasir sendiri berada pada garis keturunan Raja Mardaup, yaitu dari isteri kedua Raja Marsundung yang selama ini dijuluki sebagai Parhorbo Pudi. Dalam kepengurusan SIPASADA Bonapasogit, Wasir sebagai ketua didampingi oleh wakil ketua Alfaris Simanjuntak dari keturunan Parsuratan, yakni dari garis isteri pertama Raja Marsundung yang dijuluki Parhorbo Jolo.
Bagi Wasir, marga Simanjuntak adalah berkat dari Tuhan, sehingga ada istilah “Simanjuntak Ri”. Memang keturunan Simanjuntak termasuk salah satu yang terbesar dalam komunitas suku Batak Toba. Ada kiasan: Di mana ada rumput (ri), di situ ada marga Simanjuntak.
Acara pembentukan SIPASADA Bonapasogit yang digelar di lapangan Sisingamangaraja, Balige, Januari lalu, sebenarnya terhitung terlambat. Karena justru di perantauan, di provinsi lain, organisasi ini sudah terbentuk sejak bertahun-tahun lalu. Adalah Raja Tartar Simanjuntak, Ketua SIPASADA Pekan Baru, yang mendorong lahirnya SIPASADA di kampung halaman Simanjuntak itu sendiri. Penandatanganan prasastinya dilakukan oleh Raja Tartar Simanjuntak (Parsuratan), Wasir Simanjuntak (Mardaup), Djuara Panota Simanjuntak (Sitombuk), dan Djunias Simanjuntak (Hutabulu). Acara ini dihadiri keturunan Simanjuntak yang datang dari Medan, Dairi, dan Jakarta. Moses Tambunan, tokoh IPK di Medan, juga datang sebagai boru.
Bupati Toba Samosir, Kasmin Simanjuntak, menyatakan dukungannya lewat telepon walau dia tidak bisa menghadiri acara pengukuhan pengurus SIPASADA Bonapasogit karena urusan tugas dinas ke luar kota. “Ahu pe pomparan ni Raja Marsundung Simanjuntak do,” kata Kasmin seperti dibacakan Wasir. Secara pribadi Kasmin memberikan bantuan dana Rp5 juta.
Sejalan dengan akronim namanya, sipasada, yang bermakna pemersatu, kehadiran SIPASADA di Tanah Batak diharapkan mampu mengakhiri mitos Parhorbo Jolo-Parhorbo Pudi. Seperti diungkapkan Jhonny Simanjuntak, Sekretaris SIPASADA Bonapasogit, kalau selama ini dia berkenalan dengan sesama marga Simanjuntak, dia tidak pernah bertanya apakah orang tersebut merupakan keturunan Boru Sihotang (Parhorbo Pudi) seperti dirinya ataukah Boru Hasibuan (Parhorbo Jolo). “Dan saya juga tidak suka apabila ada orang lain mengajukan pertanyaan begitu pada saya. Marga Simanjuntak do ompung nami, goarna Raja Marsundung Simanjuntak.”
Selama acara SIPASADA berlangsung di Balige, di mana sekitar seribu orang keturunan Raja Marsundung berkumpul, saling sapa, menari tortor bersama-sama, dan berpelukan — baik dari Parsuratan, Mardaup, Sitombuk, dan Hutabulu — ternyata tidak ada hujan, badai, kecelakaan, atau bencana. Cuaca sangat cerah hingga acara usai di sore hari. Nasi yang dimasak panitia pun matang. (JararSiahaan.com)
2.11.11
Supir atau Kernet?
Ceritaku hari ini untuk semua saudaraku yang disini. Bukan karangan atau hasil imajinasiku ya? :)
Cerita ini terjadi ketika aku tinggal di Makassar. Kusebutlah dia Ito (bukan kalian angka itoku ya? Hehehe...)
Ito : Ito boru Simanjuntak apa? Maksudku Supir atau Kernet?
Aku : Wah...aku ga tau Supir atau Kernet krn ga ada Angkot atau Bus kami....hehehe.
Ito : Serius dulu ito...
Aku : Loh??? Serius aku. Memang kami ga punya Bus atau Angkot. Bapakku juga bukan Supir, Bapakku dulu hanya seorang Guru SD di desa..
Ito : Jadi boru Simanjuntak apa nya ito?
Aku : Aku boru Simanjuntak Parsuratan ito....
Ito : Parsuratan itu Horbo Jolo atau Horbo Pudi?
Aku : Ito...walaupun tinggal kami di desa tapi kami ga punya Horbo... Sawah kami ga punya untuk apa Horbo? Oppungku pun pedagangnya, jadi dang adong horbo nami (walaupun aku tau maksud ito an itu, hehehe...)
Ito : Ehe...Ito inilah bercanda terus...! Ya sudahlah klu ito ga mau kasih tau... Tapi, ito tau kan cerita kenapa terjadi perpecahan antara Simajuntak Horbo Jolo dengan Horbo Pudi? Kenapa itu bisa terjadi ito?
Aku : Aku memang pernah dengar cerita itu tapi bukan dari orangtuaku, melainkan dari lingkungan sekolah, kampus dan lingkungan sosialku dimana hal ini sangat-sangat kelihatan sekali. Aku hanya bisa bilang ke ito kalau aku tidak percaya dengan cerita yg beraneka macam versi yang menyudutkan salah satu pihak. Aku tidak hidup di zaman ketika cerita itu terjadi dan orangtuaku serta keluarga kami tidak pernah menceritakan atau mengatakan kami untuk menjadi bagaimana harus bersikap terhadap kebenaran cerita itu. Yang aku ingat sampai sekarang hanya pesan dari Oppung dan Bapakku yang sekarang telah tiada yang mengatakan: "Inang...ho boru Juntak, boru panggoaran jala pahoppu panggoaran. Harus hormat kepada yang semarga mu, jaga nama baik keluarga terutama "KELUARGA SIMANJUNTAK" Ketika kau coreng nama baik keluarga, ingatlah bahwa kau juga telah mencoreng nama baik "KELUARGA BESAR S IMANJUNTAK"
Ito : Gitu ya ito? Jadi ito ga tau cerita tentang perpecahan itu ya?
Aku : Aku tau ceritanya tapi tidak tau dan tidak percaya akan kebenarannya. Kalau mau tau kebenarannya ito tanya aja kepada orang yang hidup dan yang melihat langsung ketika peristiwa itu terjadi(dalam hati jengkel sekaligus geli sambil berkata dalam hati "cari aja sampai loja" hehehe)
Ito : Iyalah ito, terimakasih buat bincang-bincangnya..
Aku : Sama-sama ito...(tapi dalam hati bilang gini "kayak bincang-bincang di TV aja")
Maaf klu terlalu panjang,namanya juga yg marcarita, hehehe. Ini ceritaku, mana ceritamu?:)
(Ervina Simanjuntak)
5.10.11
Doa Sang Pemulung
Terkadang aku merasa bersalah, karena telah membawa mereka ke dalam kehidupan seperti ini. Hidup yang tak jelas masa depannya. Hidup yang hanya bertumpu pada barang rongsokan. Barang rongsokan menjadi sarana penyambung hidup kami. Kalau mendapat banyak, aku akan sangat senang kembali kerumah. Tapi kalau sedikit! Ah… begitu berat rasanya kembali ke rumah dan aku ingin mencari rongsokan sampai malam tiba. Itulah sebabnya aku harus bangun lebih awal dan segera mencari rongsokan supaya tidak didahului orang lain yang nasibnya sama seperti aku. Inilah hidup, hidup yang dipenuhi dengan persaingan, bahkan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak berguna untuk orang kaya pun harus kami perebutkan.
Setiap harinya, aku harus menyusuri jalan raya untuk mencari barang rongsokan. Kadang aku harus mencari di selokan dan sungai-sungai yang sudah penuh dengan kotoran hewan bahkan kotoran manusia yang tak peduli lagi akan kebersihan lingkungan. Sebenarnya, kalau di setiap lokasi perumahan tidak ada tulisan pemulung, pengamen, dan pengemis di larang masuk, aku tak usah susah payah berjalan puluhan kilometer mencari barang rongsokan atau di sungai-sungai yang sudah tercemari kotoran. Barang rongsokan dan plastik yang dibuang orang-orang yang bermukim di sana sudah cukup untuk mengisi karungku sampai penuh. Tapi yang terjadi bukanlah demikian. Tulisan itu begitu jelas terpampang di jalan masuk lokasi perumahan itu. Saya tidak tahu, apa alasan mereka membuat tulisan itu. Mereka pikir kami ini siapa? Pencuri? Penjahat? Atau setan?. Mungkin lebih baik tulisan itu diganti dengan kata-kata ini pemerintah, pejabat dan pengusaha dilarang masuk, karena merekalah yang lebih banyak menghabiskan uang rakyat. Aku rasa akan lebih aman kalau demikian. Dan kalau dipikir-pikir, kami malah membantu mereka membersikan pekarangan dan tong sampah mereka.
Aku pernah memberanikan diri untuk masuk. Ketika masuk satpamnya tidak berada di pos jaga. Akupun dengan leluasa mengumpulkan barang bekas dan plastik-plastik yang ada di tong sampah. Karung yang kubawa pun penuh dengan waktu yang sangat singkat dan aku tidak perlu lagi berjalan jauh seperti hari sebelumnya. Tapi sungguh tak kuduga, seorang satpam telah berdiri di pintu keluar dan alat pemukul telah siap di tangannya. Sepertinya ia sudah lama mengamatiku. Belum sempat aku mengatakan sepatah katapun, satu pukulan sudah mendarat di dadaku. Saat itu aku mencoba melawan, tapi saat aku mencoba untuk berdiri, kepalan tangan satpam itu sudah kembali mendarat dan kali ini tepat di wajahku. Tak henti-hentinya ia memaki aku. Bukan itu saja, barang rongsokan yang sudah kukumpulkanpun disita olehnya dan aku pulang dengan tangan kosong.
Saat itu beban hidupku sangat berat, istriku yang sangat kucintai sedang mengandung anak kami yang kedua dan akan segera melahirkan. Aku tak punya uang simpanan untuk membiayai persalinannya. Sepeserpun aku tak punya. Semua hasil yang kukumpulkan hanya cukup memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Aku marah pada diriku sendiri. Aku merasa orang yang paling tidak bertanggung jawab. Kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan, apa yang harus kulakukan sekarang? Tidak mungkin aku pulang, apa yang akan kukatakan kepada istriku? Aku tidak mau menunjukan luka tonjokan yang di wajahku. Oh……Tuhan apa yang harus kulakukan? Mengapa semua ini terjadi padaku?
Sesampainya di rumah, dia menyambutku dengan senyumnya. Dia telah menyiapkan teh manis hangat dan ubi goreng seperti hari-hari sebelumnya. Di balik senyumnya aku menemukan satu harapan bahwa aku akan membawa kabar baik tentang hasil pencarianku hari itu. Tetapi harapannya sirna ketika melihat wajahku yang bengkak karena tonjokan. Ia sangat terkejut dan tanpa banyak kata ia mengambil air hangat dan langsung membersihkan luka memar di wajahku. Saat dia membersihkan wajahku aku mulai bercerita tentang kejadian siang itu. Air matanya seperti sungai saat dia mengetahui kejadian yang sebenarnya. Saat aku mengakhiri semua ceritaku, ia semakin mendekat dan memeluku. Mungkin dalam hatinya ia berkata “ Maafkan aku Mas, aku tak mampu membantumu di saat seperti ini.” Menyaksikan semua yang terjadi malam itu, dalam hatiku tumbuh semangat untuk memberikan yang terbaik untuk istri dan anak-anakku. Aku akan selalu rajin bekerja dan berusaha untuk bangun secepat mungkin untuk mengumpulkan barang rongosokan di sepanjang jalan.
* * * * * * *
Ketika malam tiba, setelah istri dan anakku sudah tidur, aku berlutut memohon kekuatan dari pada-Nya. Tak lupa juga aku mendoakan istri dan anakku. Dalam doa aku selalu memohon “Yesus Tuhanku, lindungilah istri dan anakku. Kuatkanlah mereka agar mampu menerima situasi-situasi sulit dalam hidup ini. Jagalah hati mereka dari iri dan dengki terhadap mereka yang kaya. Kuatkanlah jiwa mereka, bimbinglah di jalan-Mu. Kuatkanlah juga aku agar mampu menopang kehidupan keluarga. Tuhan hanya Engkaulah harapanku satu-satunya. Ya, Bunda Maria yang baik hati dampingilah kami selalu. Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu terpujilah engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuhmu,Yesus. Santa Maria bunda Allah doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati.” Amin.
Doa inilah yang selalu ungkapkan setiap malam. Aku merasa tanpa Yesus hidupku tak berarti apa-apa. Dialah yang selalu memberikan kekuatan kepadaku. Dia yang selalu menemani perjalananku setiap hari. Tak pernah Ia tinggalkan aku, bahkan ketika aku mengalami kesusahan, Dia selalu hadir. Baik buruk nasibku di kemudian hari hanya Dia yang tahu, yang penting aku percaya bahwa Dia akan memberikan yang terbaik bagiku dan keluargaku. Memang!! Yesusku luar biasa.
Kenangan di Pematang Sawah
Sejarah Tuak Batak
Secara umum tuak dikenal oleh masyarakat di Indonesia adalah jenis minuman yang disebut arak. Jenis minuman dari tuak yang lebih ringan dan lebih segar disebut nira, dengan rasa manis menyegarkan, tetapi nira sebenarnya disadap dari pohon kelapa dan bukan dari bagot. Melihat tuak secara fisik adalah seperti seduhan susu yang berwarna putih dan adapula yang berwarna putih kekuningan, sementara nira juga berwarna putih lebih bening.
Tuak, disamping sebagai minuman, merupakan bahan baku untuk pembuatan gula dengan berbagai sebutan seperti gula aren atau gula merah atau gula jawa karena orang-orang jawa memang lebih banyak memproses tuak menjadi gula. Untuk memproses tuak menjadi gula sangatlah sederhana. Secara tradisional, tuak hanya dimasak diatas kuali dengan kayu bakar selama beberapa jam, lalu diaduk sampai mengental dan dituang kedalam cetakan yang biasanya terbuat dari bongkol bambu atau batok kelapa. Belakangan ini tuak sudah diproses secara moderen menjadi kristal gula yang disebut palm sugar atau brown sugar dan penjualannya tidak lagi di pasar-pasar tradisional melainkan di super market dengan kemasan bermerek dagang untuk olesan gula pada roti. Tuak juga sebagai bahan mutlak untuk membuat cuka makan yang disebut Arenga Vinegar.
Bagaimana tuak menjadi minuman khas orang Batak dan bahkan menjadi penganan yang disertakan dalam prosesi adat, tentu sudah sangat panjang sejarahnya. Bermula dari sebuah legenda bagot (nama lain: arenga pinnata) yang dianggap sebagai pohon mistis. Sewaktu Marco Polo mengunjungi Sumatra tahun 1290, menyebutkan bahwa bangsa Batak sudah gemar minum tuak.
Bangsa Batak melegendakan sebelum penciptaan manusia bahwa di kerajaan Banua Ginjang (kayangan) sudah ada komunitas dewa-dewi yang dipimpin oleh Mulajadi Nabolon (Maha Pencipta Alam Semesta). Dewa Batara Guru memiliki putra dan putri yang menjadi dewa dan dewi, dan dua putrinya bernama Dewi Sorbajati dan Dewi Deakparujar. Sementara Dewa Mangalabulan juga memiliki putra dan putri yang menjadi dewa dan dewi. Salah seorang putra Dewa Mangalabulan bernama Dewa Odapodap sudah cukup dewasa untuk mendapatkan seorang putri pendamping. Dewa Mangalabulan bersusah hati karena putranya Dewa Odapodap berburuk rupa karena bentuknya seperti ilik atau sejenis kadal sehingga Dewa Odapodap merasa malu untuk keluar rumah untuk mencari sendiri pasangannya. Kegundahan Dewa Mangalabulan tentang anaknya ini memberanikan dirinya untuk mengadukannya kepada Mulajadi Nabolon dan meminta agar Dewa Odapodap dapat dinikahkan dengan putri Dewa Bataraguru. Lalu Dewa Mangalabulan pergi menghadap Dewa Bataraguru untuk melamar putrinya agar dipasangkan kepada putranya yang berbentuk kadal tersebut. Oleh karena lamaran ini adalah atas persetujuan Mulajadi Nabolon maka Dewa Bataraguru menyetujui untuk menikahkan putrinya Dewi Sorbajati dengan Dewa Odapodap. Olehkarena mengetahui Dewa Odapodap berburuk rupa seperti ilik maka Dewi Sorbajati tidak rela namun tidak kuasa untuk menolak perintah ayahnya. Singkat cerita, Dewi Sorbajati memohon agar pesta perkawinannya diiringi dengan gondang dan dia ingin melampiaskan tekanan dan penolakan jiwanya dalam tarian. Dewi Sorbajati menari semalaman hingga dia mengalami trance dan melompat ke Banua Tonga (dunia fana/ alam nyata, yang kita kenal sekarang). Pada masa itu Banua Tonga masih berupa lautan dan tidak ada tanah untuk berpijak, maka Dewi Sorbajati terombang ambing di lautan.
Karena pesta perkawinan harus berlangsung maka Dewa Bataraguru meminta putri kedua yaitu Dewi Deakparujar untuk menerima Dewa Odapodap menjadi suaminya. Dengan terpaksa dia menerimanya dengan syarat dan memohon kepada Mulajadi untuk diberikan segumpal kapas agar dia terlebih dahulu memintal benang dan kemudian menenun ulos yang disebut Ulos Bintang Maratur. Sewaktu memintal benang, Dewi Deakparujar memperlama pemintalannya sehingga Mulajadi Nabolon menegurnya. Sewaktu Mulajadi Nabolon menghampirinya maka dia terkejut dan terjatuhlah pintalan benang tersebut dan tongkol benangnya bergantung-gantung di Banua Tonga. Dengan rasa takut dan gemetar dia menarik tongkol benang tersebut akan tetapi tongkol benang tersebut terus melorot mengakibatkan Dewi Deakparujar terpeleset dan ikut tergantung di Banua Tonga. Lalu dia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar dia diberikan segumpal tanah untuk tempatnya berpijak sambil melakukan penenunan ulos. Semakin lebar ulos ditenun maka semakin lebar pula tanah berpijaknya karena ulos yang ditenun tersebut menjadi hamparan tanah tempat tinggalnya. Akhirnya Mulajadi Nabolon dan para dewa mengutus Dewa Odapodap untuk menemui Dewi Deakparujar dan kemudian menjadi pasangan yang melahirkan manusia Batak pertama di Banua Tonga.
Dewi Sorbajati yang terapungapung di air lautan akhirnya terdampar ditanah yang ditempa oleh Dewi Deakparujar dan bertumbuh menjadi sebuah pohon yang disebut bagot. Maka bagot menjadi pohon mistis yang seluruh bagian-bagiannya sangat berguna bagi keperluan manusia. Daunnya dapat di anyam untuk digunakan atap atau dinding sopo di sawah dan ladang. Lidi daunnya dapat dibuat untuk sapu lidi dan penggunaan pada anyaman atap rumah atau tusuk sate dan keperluan lainnya. Ijuknya dapat digunakan untuk atap ruma batak, termasuk untuk penyaringan air, atau bahkan dapat digunakan untuk busa jok mobil yang mahal harganya. Ijuh halus yang terdapat pada pelepah pohon dulunya digunakan untuk menyalakan api dari percik lantakan batu api. Sagu yang terdapat pada tengah batangnya dapat diproses menjadi bahan makanan yang disebut mie bihun. Batak Karo dulunya memanfaatkan sagu bagot untuk pembiakan sejenis ulat sagu yang berwarna putih dan penjadi penganan khas yang disebut kidu-kidu dan sangat kaya dengan protein tinggi. Batang kerasnya dapat digunakan untuk titian anak sungai atau bila dibelah akan menjadi bahan untuk penyaluran air ke sawah. Batang ini pula yang digunakan untuk cantolan pengikat atap ijuk pada Ruma Batak yang disebut tarugi. Buahnya (halto) digunakan untuk bahan makanan yang disebut kolang-kaling. Dari tangkai bunga jantan yang tidak bakal menjadi buah dapat disadap untuk mengambil tetesan airnya untuk menjadi tuak dan produk-produk yang disebutkan sebelumnya, disebutlah sebagai air susu sang dewi Siboru Sorbajati.
Demikianlah hanya secuil cuplikan legenda bagot sebagai pohon mistis bagi orang Batak dan kenyataannya tidak termanfaatkan kegunaannya yang menyangkut hajat hidup orang-orang Batak secara ekonomis, bahkan ada berupa pantangan bila ada bagot yang tumbuh dekat rumah akan mendatangkan bencana, karena katanya bagot menjadi sasaran empuk dari sambaran petir.
Pada masa sekarang ini orang Batak memanfaatkan bagot hanya sebagai penghasil tuak, sementara kegunaan lainnya hampir tak dimanfaatkan lagi. Mungkin ini pula yang mengindikasikan kehidupan perekonomian rakyat di desa-desa Tanah Batak begitu melorot karena memang sudah tidak memaknai lagi bahwa bagot adalah jelmaan dari dewi yang dulunya bermukim di kayangan yang pada dasarnya sebagai salah satu unsur tani yang mampu memakmurkan. Apakah pohon produktif seperti kopi sigarar utang atau mangga atau pinasa atau durian atau haminjon mampu menandingi fungsi2 yang dihasilkan oleh bagot? Dari kajian yang diuraikan diatas tentu bagot merupakan superior dari tanaman-tanaman endemik yang tumbuh di Tanah Batak. Apakah pula ini mengindikasikan datangnya kutukan karena tidak menghargai satu jelmaan Dewi yang dipercaya oleh orang Batak dahulu? Wallahuallam! Kita boleh menilai sendiri.
Bagot sebagai pohon produktif bukanlah merupakan pohon yang dibudidayakan oleh orang Batak, melainkan tumbuh secara alami melalui penyebaran binatang seperti rubah dan musang. Habitat tumbuhnya sekitar 200-1200 dpl namun lebih produktif untuk menghasilkan tuak pada ketinggian tumbuh sekitar 350-900 dpl. Pada tanah dataran rendah sekitar permukaan laut tanaman ini tidak tumbuh sehingga produksi tuak diperoleh dari penyadapan pohon kelapa yang menghasilkan tuak dan nira. Disamping sebagai pohon yang pada dasarnya bernilai ekonomis tinggi, maka bagot merupakan penyangga kesuburan tanah karena mampu menahan banyak air tanah dan mencegah kelongsoran tanah-tanah bertebing.
Kalau kita menyusuri jalan-jalan lintas di Tanah Batak semisal jalan lintas selepas Sipirok sampai ke Medan atau selepas Sibolga sampai ke Medan, maka di kiri kanan jalan akan banyak terlihat kedai-kedai yang disebut lapo tuak sebagai tempat orang-orang Batak meluangkan waktunya berkumpul bercengkerama antar sesama untuk menikmati tuak sebagai minuman khas. Ada tercatat dalam sejarahnya bahwa komunitas Batak yang ada di Tanah Batak memang sangat doyan minum tuak yang memang kontur tanahnya berbukit-bukit bercuaca relatif dingin sehingga membutuhkan kehangatan melalui kebiasaan minum tuak. Sebelum Tanah Batak dijajah Paderi tak terkecuali komunitas Batak di Tanah Batak selatan juga doyan dengan minum tuak, namun di jaman kemerdekaan ini komunitas Batak di utara lah yang tetap memelihara ke-khas-an ini sampai sekarang dan bahkan sampai keseluruh pelosok tanah air dimana bermukim orang-orang Batak akan selalu ada yang disebut lapo tuak.
Kehangatan tuak yang memang mengandung kadar alkohol sekitar 3-5% merupakan minuman murah meriah yang tidak memandang klas dan status sosial bagi pengkonsumsinya. Dahulu di Tanah Batak ada diproduksi jenis minuman keras golongan B atau A yang disebut gimlet yang konon katanya terbuat dari buah haramonting sejenis tanaman semak liar yang banyak tumbuh di Tanah Batak, namun jenis minuman ini sudah tidak kelihatan lagi dan mungkin dilarang atau kalah bersaing dengan tuak. Kandungan mineral yang cukup komplit dari tuak sebenarnya berguna untuk kesehatan tubuh apabila dikonsumsi secukupnya sesuai dengan kebutuhan. Ada anggapan bahwa seseorang yang berpenyakit gula (diabetes) dianjurkan untuk mengkonsumsi tuak karena kadar gula darah dapat terlarut oleh mineral yang terdapat pada tuak dan dikeluarkan melalui respirasi kencing. Oleh karena lancar kencing ini pula maka tuak dianggap sangat baik untuk mencegah penyakit ginjal dan kencing batu. Tuak na tonggi untuk kaum wanita terutama yang baru melahirkan sering diberikan karena dianggap sebagai penambah darah dan menghangatkan serta akan memperlancar pengeluaran air susu untuk si bayi dan diasumsikan sang Dewi Sorbajati yang memelihara sang bayi dengan air susunya alias tuak. Wallahualam! Masih perlu diadakan penelitian supaya dapat teruji secara medis.
Proses pembuatan tuak menjadi minuman sebenarnya tidak memiliki standar baku makanya secara umum bahwa setiap tuak yang disajikan di lapo tuak mempunyai citarasa yang berbeda-beda. Setiap penyadap (parragat) memiliki standar racikan sendiri-sendiri yang saling menonjolkan keunggulannya. Tuak yang dikonsumsi siap minum bukanlah tuak yang langsung turun dari sadapan melainkan masih melalui racikan oleh parragat karena tuak yang dari ragatan masih kental dan bahkan hampir seperti bubur. Formula racikan tuak biasanya dirahasiakan oleh parragat, namun sesama parragat sebenarnya sudah saling mengetahui formula tuaknya semisal yang disebut sebagai formula 1-4, 1-6, 1-8 yang artinya pencampuran antara tuak asli yang belum dapat diminum dengan air sebagai campuran pengencer. Kadang-kadang racikan tuak yang sampai di Lapo masih pula diracik oleh parlapo dengan harapan akan mendapat keuntungan yang lebih banyak dengan mengorbankan rasa dan efek kehangatan dan penenangan pikiran. Oleh karena belum ada standarisasi pencampuran tuak yang layak minum maka sangat disangsikan pula nilai higienisnya. Adakalanya pencampuran dilakukan dengan memberikan air yang belum matang dan disangsikan kebersihannya. Adapula peracikan yang diberi air cucian beras untuk mengelabui warna putih dan adapula racikan dicampur dengan ragi untuk berusaha menyamai rasa. Maka tak jarang bahwa setelah meminum tuak seseorang menderita sakit perut atau mencret-mencret.
Dari perbandingan pencampuran tuak asli dengan air dengan komposisi tertentu dapat diperoleh tuak siap minum yang terasa manis, dan inilah yang disebut sebagai tuak na tonggi. Jenis tuak manis biasanya digemari oleh para wanita termasuk juga para kaum pria akan tetapi secara umum kaum pria lebih menggemari tuak yang mengandung rasa pahit tertentu sebagaimana yang tersedia di lapo tuak. Untuk mendapatkan rasa pahit tertentu ini maka tuak akan dibubuhi sejenis serat kayu yang disebut raru. Jenis raru pun ada dua jenis yaitu yang tidak mengeluarkan warna sehingga warna tuak tetap sebagaimana warnanya, tetapi ada juga raru yang mengakibatkan warna tuak agak berubah menjadi berwarna lebih kuning.
Tuak yang disajikan di bonapasogit memanglah tuak yang berasal dari bagot maka disebutlah sebagai tuak bagot. Sedangkan tuak yang ada di tanah dataran rendah seperti di Kota Medan, Jakarta dan kota-kota lainnya yang berada di dataran rendah adalah disebut tuak kalapa karena habitat bagot tumbuh di dataran relatif tinggi sedang kelapa tumbuh di dataran rendah.
Sering juga kita mendengar sebutan tuak tangkasan padahal tuak tersebut bukanlah tuak tangkasan yang sebenarnya. Ada asumsi kalau tuak tangkasan disebut hanya karena rasanya yang enak sesuai selera, padahal tuak tersebut sudah dari hasil sadapan tangkai yang kesekian kalinya. Tuak tangkasan sebenarnya adalah tuak yang dihasilkan dari tangkai bunga yang pertamakali disadap dari satu pohon bagot dan biasanya memang mengandung citarasa yang lengkap sebagai tuak konsumsi. Kalau tuak yang disadap dari tangkai bunga berikutnya tidak lagi disebut sebagai tuak tangkasan dan mungkin kandungan mineral yang mempengaruhi cita rasanya sudah tidak sama lagi dengan sadapan dari tangkai yang pertama. Keduanya tuak tangkasan dan tuak na tonggi dahulu selalu disajikan dalam suatu prosesi adat, namun belakaangan ini keberadaan tuak tangkasan dan tuak na tonggi sudah ditukar dengan amplop yang berisi uang sejumlah tertentu sebagai media adat dan disebut pasi tuak na tonggi (pemberian sejumlah dana agar sipenerima dapat membeli sendiri tuak na tonggi). Dalam acara adat pemberian makan khusus kepada orang tua yang disebut manulangi selalu disertai dengan pemberian tuak na tonggi sebagai minumannya dengan harapan orang tua akan memberkati anak-anaknya mendapat kehidupan yang manis. Dalam upacara penguburan orang tua yang meninggal dan sudah mendapat status sebagai sarimatua atau saurmatua, biasanya kuburan yang disebut tambak ditanami sejenis tanaman bakung. Upacara menanam bakung ini disebut sebagai manuan ompuompu akan disertai dengan menuangkan tuak na tonggi dan air bersih ke tambak tersebut. Demikianlah peran tuak dalam tatanan adat-istiadat Bangsa Batak, akan tetapi untuk penyembahan kepada Mulajadi Nabolon dan para dewa-dewi penghuni Banua Ginjang, penyediaan tuak tidak dilakukan karena dianggap sebagai hasil dari jelmaan Dewi Sorbajati yang membangkang.
Proses penyadapan tuak dari bagot disebut mar-ragat biasanya dilakukan oleh seorang par-ragat dengan melakukan ritual-ritual tertentu. Setiap par-ragat memahami bahwa bagot adalah jelmaan dewi yang harus dibujuk rayu agar mau memberikan tetesan air susunya yang disebut tuak. Tangkai tandan bunga jantan yang akan diragat biasanya dielus-elus dan digoyang-goyang serta diketuk-ketuk dengan sepotong kayu sambil dinyanyi-nyanyikan syair rayuan yang berbunyi:
“Boru Sorbajati siboru nauli, Boru na so ra jadi na uli diagati”
Demikianlah syair pantun tersebut dinyanyikan berulang-ulang sampai dirasa Siboru Sorbajati dianggap sudah termakan bujuk rajuan oleh par-ragat. Bila rayuan itu memang diterima oleh Dewi Sorbajati maka diyakini penyadapan akan berlangsung lama berbulan-bulan dan menghasilkan tuak yang banyak dari satu tandan. Penyadapan biasanya dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore harinya dengan menampung tetesan tuak dalam sebuah wadah yang terbuat dari bambu yang disebut poting.
Apabila seorang par-ragat mampu menghasilkan 10 botol untuk dua kali panen sehari, dan dengan formula racikan 1-8 maka akan dihasilkan jumlah tuak sebanyak 80 botol yang setara dengan 160 gelas. Satu gelas tuak di bonapasogit berharga Rp 1000, sehingga seorang par-ragat akan mendapat penghasilan sebesar Rp 160.000 per hari. Bila penyadapan dapat berlangsung selama 2 bulan untuk satu tandan, maka setiap tandan bagot bagi par-ragat akan mampu berpenghasilan senilai Rp 9.600.000, suatu penghasilan yang fantastis! Beginilah apabila seorang Batak mau menghargai budaya leluhurnya, maka seorang dewi murtad seperti Siboru Sorbajati akan bersedia memberikan rejeki berlimpah kepada yang mau dan mampu bersikap rendah hati merayu rejeki. Kalau tandan yang dihasilkan oleh satu pohon bagot mencapai 3-5 tandan sebelum pohon itu mati, bahkan batang dan inti batang serta serabut dan lidinya masih dapat termanfaatkan, maka secara kasar satu pohon akan bernilai setara dengan Rp 50.000.000. Sungguh fantastis dan sangat tinggi nilai ekonomis sebuah pohon bagot jelmaan Dewi Sorbajati.
Itulah riwayat tuak yang bahasa kerennya disebut palm wine ternyata bermakna tinggi bagi Bangsa Batak dan pohon bagot yang banyak tumbuh di Tanah Batak ternyata secara ekonomis sangat menggiurkan. Siapa mau invest? Silahkan kalkulasi prospektifnya. Horas.