Kegelisahan Raja Tartar dan Wasir itu juga dirasakan Jhonny Simanjuntak (28 tahun), generasi muda keturunan Raja Marsundung Simanjuntak dari Desa Hutabulu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir. “Saya tidak bisa menerima mengapa masih ada orangtua di kalangan marga Simanjuntak yang justru meneruskan mitos itu kepada anak-anaknya. Harus dihentikan, jangan lagi ada istilah Parhorbo Jolo dan Parhorbo Pudi. Makanya selama ini saya sering bermain ke Parsuratan, mereka itu juga saudaraku, dan ternyata tidak ada terjadi apa-apa seperti kata orang-orang,” kata Jhonny, Sekretaris SIPASADA Bonapasogit, kepada Koran Tapanuli.
Entah siapa yang memulai, ada sebuah cerita terkenal mengenai marga Simanjuntak, yaitu bahwa jika keturunan Raja Parsuratan Simanjuntak (dijuluki Parhorbo Jolo) bertemu dalam sebuah acara dengan keturunan Raja Mardaup Simanjuntak, atau Raja Sitombuk Simanjuntak, atau Raja Hutabulu Simanjuntak (dijuluki Parhorbo Pudi), maka konon akan terjadi hal-hal negatif. “Kalau berada dalam mobil yang sama, katanya mobil itu bisa rusak atau kecelakaan. Dang toho i,” kata Guntur Simanjuntak, mantan anggota DPRD Tobasa yang lebih dikenal sebagai pengusaha restoran mie Bahagia. Hujan lebat akan turun jika kedua pihak bertemu dalam upacara adat, tulis majalah Tempo pada 1991, dan bahkan nasi untuk pesta pun bisa tidak matang.
Tempo menulis, perselisihan sesama marga Simanjuntak ini telah berlangsung selama empat abad. Raja Marsundung, nenek moyang marga Simanjuntak, semasa hidupnya memiliki dua isteri. Yang pertama, Boru Hasibuan, meninggal saat putera tunggal mereka, Raja Parsuratan, masih kecil. Lalu Marsundung menikahi Boru Sihotang, yang melahirkan dua puteri dan tiga putera, yaitu Raja Mardaup, Raja Sitombuk, dan Raja Hutabulu. Saat Raja Marsundung meninggal, dia mewariskan seekor kerbau. Anak-anaknya dari kedua isterinya memperebutkan kerbau itu. Akhirnya mereka sepakat membaginya: bagian depan kerbau untuk sang abang, Parsuratan, dan adik-adiknya mendapat bagian belakang. Konon kemudian Parsuratan membunuh adik perempuannya, anak dari ibu tirinya Boru Sihotang, dengan maksud untuk menguasai kerbau itu. Boru Sihotang murka dan bersumpah: “Na so jadi mardomu anakku tu anakni Boru Hasibuan.” Hikayat inilah yang diteruskan turun-temurun sampai sekarang.
“Padahal kita tidak tahu kebenarannya, namanya juga mitos. Namun akibat dari kisah tersebut, harus kami akui, masih banyak sesama marga Simanjuntak tidak bisa akur terutama dalam pesta adat. Memang dalam kegiatan agama atau sosial, kami terlihat bisa akrab, tapi mengapa dalam adat tidak. Inilah yang harus dihapus. Cerita Parhorbo Jolo-Parhorbo Pudi hanyalah mitos, bahkan bisa jadi merupakan pembohongan oleh iblis supaya marga Simanjuntak terpecah-belah,” kata Wasir Simanjuntak kepada Koran Tapanuli. Dia meminta para orangtua Simanjuntak agar mendidik anak-anak mereka untuk bisa hidup berdampingan dengan seluruh keturunan marga Simanjuntak tanpa membuat pembatas antara “kita dan mereka”, Parhorbo Jolo atau Parhorbo Pudi.
Dalam silsilah Raja Marsundung Simanjuntak, Wasir sendiri berada pada garis keturunan Raja Mardaup, yaitu dari isteri kedua Raja Marsundung yang selama ini dijuluki sebagai Parhorbo Pudi. Dalam kepengurusan SIPASADA Bonapasogit, Wasir sebagai ketua didampingi oleh wakil ketua Alfaris Simanjuntak dari keturunan Parsuratan, yakni dari garis isteri pertama Raja Marsundung yang dijuluki Parhorbo Jolo.
Bagi Wasir, marga Simanjuntak adalah berkat dari Tuhan, sehingga ada istilah “Simanjuntak Ri”. Memang keturunan Simanjuntak termasuk salah satu yang terbesar dalam komunitas suku Batak Toba. Ada kiasan: Di mana ada rumput (ri), di situ ada marga Simanjuntak.
Acara pembentukan SIPASADA Bonapasogit yang digelar di lapangan Sisingamangaraja, Balige, Januari lalu, sebenarnya terhitung terlambat. Karena justru di perantauan, di provinsi lain, organisasi ini sudah terbentuk sejak bertahun-tahun lalu. Adalah Raja Tartar Simanjuntak, Ketua SIPASADA Pekan Baru, yang mendorong lahirnya SIPASADA di kampung halaman Simanjuntak itu sendiri. Penandatanganan prasastinya dilakukan oleh Raja Tartar Simanjuntak (Parsuratan), Wasir Simanjuntak (Mardaup), Djuara Panota Simanjuntak (Sitombuk), dan Djunias Simanjuntak (Hutabulu). Acara ini dihadiri keturunan Simanjuntak yang datang dari Medan, Dairi, dan Jakarta. Moses Tambunan, tokoh IPK di Medan, juga datang sebagai boru.
Bupati Toba Samosir, Kasmin Simanjuntak, menyatakan dukungannya lewat telepon walau dia tidak bisa menghadiri acara pengukuhan pengurus SIPASADA Bonapasogit karena urusan tugas dinas ke luar kota. “Ahu pe pomparan ni Raja Marsundung Simanjuntak do,” kata Kasmin seperti dibacakan Wasir. Secara pribadi Kasmin memberikan bantuan dana Rp5 juta.
Sejalan dengan akronim namanya, sipasada, yang bermakna pemersatu, kehadiran SIPASADA di Tanah Batak diharapkan mampu mengakhiri mitos Parhorbo Jolo-Parhorbo Pudi. Seperti diungkapkan Jhonny Simanjuntak, Sekretaris SIPASADA Bonapasogit, kalau selama ini dia berkenalan dengan sesama marga Simanjuntak, dia tidak pernah bertanya apakah orang tersebut merupakan keturunan Boru Sihotang (Parhorbo Pudi) seperti dirinya ataukah Boru Hasibuan (Parhorbo Jolo). “Dan saya juga tidak suka apabila ada orang lain mengajukan pertanyaan begitu pada saya. Marga Simanjuntak do ompung nami, goarna Raja Marsundung Simanjuntak.”
Selama acara SIPASADA berlangsung di Balige, di mana sekitar seribu orang keturunan Raja Marsundung berkumpul, saling sapa, menari tortor bersama-sama, dan berpelukan — baik dari Parsuratan, Mardaup, Sitombuk, dan Hutabulu — ternyata tidak ada hujan, badai, kecelakaan, atau bencana. Cuaca sangat cerah hingga acara usai di sore hari. Nasi yang dimasak panitia pun matang. (JararSiahaan.com)