Recent Posts

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

27.2.14

SIPASADA "SI-PENYATU"

Iseng-iseng saya mengotak-atik kata "SIPASADA" ternyata mengandung makna yang sangat mendalam. Mungkin sudah banyak yang mengetahui, tapi mungkin belum ada yang sempat menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Mari kita lihat apa arti dibalik kata "SIPASADA". Ada dua kata yang akan kita telisik lebih dalam lagi, SI dan PASADA. "SI" dalam gabungan dua kata ini ingin menunjukkan subjek yang melakukan. Subjek dalam artian yang melakukan pekerjaan. Yang kedua "PASADA",  maksudnya adalah MENYATUKAN. Kalau kita dikampung atau dimanapun itu yang masih menggunakan bahasa batak, sering kali kita mendengar  yang mengatakan "Pasada majo atau Pasada ma sude atau Ta Pasada ma sude ate". Ketiga kalimat tersebut ingin menunjukkan kepada kita ada sesuatu yang akan disatukan (adong  na laho dipasada). Apa itu dan untuk apa disatukan kita tidak tahu.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa SIPASADA, dapat juga mengandung arti, ada satu orang pribadi atau lebih yang berusaha untuk menyatukan yang tercerai berai atau yang terpisah. Untuk apa disatukan tentu mempunyai tujuan. Tapi yang perlu disadari bahwa niat "SIPASADA" (Si Penyatu atau Sang Penyatu) karena ingin mencapai sesuatu yang sudah diimpikan, dicita-citakan. Dan hadirnya Sang Penyatu karena melihat ada kelompok atau pribadi-pribadi yang harus disatukan.
SIPASADA hadir untuk menyatukan Keluarga Besar Simanjuntak yakni Parsuratan, Mardaup, Sitombuk, dan Hutabulu,  keempat yang saya sebutkan diatas merupakan satu keturunan yang seharusnya tidak terpisahkan, karena sebenarnya mereka semua berada dalam satu payung yakni SIMANJUNTAK RAJA MARSUNDUNG. Namun kenyataannya tidak karena mitos yang sudah beredar dan diceritakan turun-temurun. Mitos tersebutlah yang dipelihara yang walaupun kebenarannya belum bisa dipastikan.
Arti selanjutanya adalah SIPASADA, "Si Opat Sada Ama". Dalam budaya batak kita ketahui bahwa orang batak mengikuti garis keturunan ayah atau istilah modernnya Patrilineal. Patrilineal adalah  suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Nah, keturunan Raja Marsundung Simanjuntak ada empat yakni Parsuratan, Mardaup, Sitombuk, dan Hutabulu. Namun ada pembelaan diri yang mengatakan "kami mengikuti garis keturunan ayah kok, buktinya dibelakang Nama kami ada SIMANJUNTAK". Namun lebih dari itu kita harus melihat bahwa bukan hanya itu saja yang dituntut dalam budaya batak. Dalam segala aspek kehidupan orang batak, nama ayah selalu dijunjung tinggi, yang walaupun Ibu harus tetap dihormati. Misalnya untuk pembangunan TUGU. Seharusnya TUGU ayahlah yang berdiri bukan IBU. Nah, kalau yang terjadi malah sebaliknya, ini sama saja melanggar kaidah atau norma-norma yang berlaku dalam budaya batak.
Ada juga yang bertanya untuk apa disatukan, bukankah selama ini kita sudah bersatu, kita bisa jalan berdampingan, tapi tidak bisa "SAHUNDULAN" dalam adat. Pertanyaan yang muncul "apakah tidak bisa "SAHUNDULAN" dalam adat bisa dikatakan bersatu". Harus dimengerti Bersatu dalam hal ini adalah bersatu disegala aspek kehidupan baik itu dalam hidup sehari-hari maupun dalam adat.
Kehadiran SIPASADA (Sang Penyatu atau Si Opat Sada Ama) harus kita sadari karena niat baik sang subjek untuk menyatukan sudah mulai berbuah, sekalipun harus menuai kritik dan ancaman. Pesan dari Kitab Suci sungguh-sungguh dijalankan yaitu "Yang menabur dengan bercucuran air mata, akan menuai dengan sorak-sorai". Semoga apa yang sudah dimulai semakin menunjukkan hasilnya karena ada niat baik dari kita untuk mendukung dan bersatu.

TAMPULAN SIBAGANDING DIDOLOKNI PANGIRINGAN
HORAS HITA NA MARHAHA ANGGI, MARSIPAIRING-IRINGAN

MALANG, Februari 2014


Darwis D Simanjuntak

27.6.13

BAH!!!

“Bah!! Ketemu lagi kita!!”
            Pembaca yang terkasih, kali ini penulis ingin menguraikan kata “Bah” yang sering diungkapkan oleh orang batak. Kata “Bah” pastinya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dalam banyak perjumpaan, kata ini sangat sering kita dengar “Bah boha kabarmu? Bah ro do hape hamu? Benar bukan? Kata ini sangat tidak asing bagi kita. Bahkan orang batak yang sudah lahir dan dibesarkan di kota besar, pasti pernah mengucapkan kata “Bah”
            Sebenarnya, maka apa yang terungkap ketika seseorang menambahkan kata “Bah” diawal atau diakhir kalimat yang diungkapkanya? Mari kita uraikan satu persatu.
“BAH” yang pertama, menunjukkan keheranan seseorang. Ungkapan heran ini terbukti ketika seseorang mengakatan kalimat seperti ini “Bah, ido ate?. Bisa jadi ketika dia mengatakan hal itu, dia sedang bercerita atau lawan bicaranya sedang membicarakan hal-hal yang fantastic, luarbiasa, susah diterima akal sehat. Akhirnya kalimat terakhir yang diungkapkan adalah “Bah, ido ate?
“BAH” yang kedua, ungkapan senang. Kata “Bah” seringkali dibubuhkan dalam sebuah kalimat yang menggambarkan bahwa ia sedang senang. Misalnya “Bah, na dison doho?” kata “Bah” disini, menunjukkan bahwa dia senang dengan keberadaan seseorang yang ada dihadapannya.
“BAH” yang selanjutnya, ungkapan kecewa dan marah. Kadangkala kata “Bah” muncul ketika kecewa dan marah. Misalnya “Bah, songoni do ho ate”” dan “Bah, lomom!” tak dapat ditelaah ketika seseorang mengatakan kalimat itu, itu menggambarkan bahwa seseorang sedang kecewa dan marah kepada orang lain.
Masih banyak makna kata “BAH” jika kita teliti dengan seksama dan memang untuk meneliti ini dibutuhkan banyak waktu. Dalam tulisan ini, penulis tidak ingin memaparkan banyak hal mengenai kata “BAH”. Karna pasti akan menimbulkan opini tidak setuju dan lain sebagainya. Karena pastinya, banyak orang yang mempunya pendapat yang berbeda mengenai kata “BAH” ini.
Lalu apa yang akan dibahas penulis selanjutnya? Mari sebelum penulis melanjutkan pembahasan kata “BAH” yang sangat menarik ini. Ada baiknya pembaca yang budiman, memperbaiki sikap duduk, merapikan letak laptop, memutar lagu-lagu batak agar menambah aroma kebatakan, dan jangan lupa bagi para penikmat kopi “Putar kopi dulu” kata saudara kita yang dari Flores. Penulis berpendapat akan bertambah mengesankan ketika membaca tulisan ini.
Tutup point, apakah kata “BAH” hanya milik orang batak? Jawabanya tentu tidak. Karena kata “Bah” ternyata digunakan oleh orang kalimantan juga. Mungkin ketika, kalimat sebelumnya, sebagian pembaca akan beropini, “pasti orang Kalimantan ikui-ikutan dengan orang batak dan pasti sebentar lagi mereka akan mengklaim bahwa itu bahasa mereka. Kalau ada yang berpendapat demikian itulah yang perlu diluruskan.
“Bah” yang digunakan orang Batak berbeda dengan yang digunakan oleh orang Kalimantan. Perbedaannya terdapat dipenulisan kata. Kalau orang Batak “Bah” ada huruf “H” diakhir kata. Sedangkan orang Kalimantan tidak menggunakan huruf “H” jadi “Ba”. Apabila kita pernah berinteraksi dengan saudara-saudara kita orang Kalimantan akan sangat jelas perbedaanya, jika kita mendengarkan dengan seksama. “nggak pun ba” seperti inilah saudara kita orang Kalimantan mengungkapkannya. Disamping tulisan dan cara mengungkapkan yang berbeda. Intonasinya juga sangat jauh berbeda. Orang batak akan sangat kentara/kedengaran dengan sangat jelas. Sedangkan orang Kalimantan akan sangat sulit bagi kita untuk menilai “apakah dia sedang marah atau tidak” karena mereka menggunakan gaya bicara orang melayu.
Selain Batak dan Kalimantan, masih adakah daerah lain yang menggunakan kata “Bah”. Jawabannya ada. Pembaca yang terkasih, apakah anda sudah pernah ke Flores. Ada yang sudah dan ada yang belum, itu sudah pasti. Ternyata, kata “bah” juga digunakan saudara kita yang di Flores ada juga yang menggunakan kata “Bah”. Kata ‘Bah” ini sering digunakan oleh teman-teman kita yang ada di LARANTUKA. Larantuka adalah sebuah kota yang menyimpan sejuta keindahan. Ketempat inilah “Sri Paus” pemimpin umat katolik seluruh dunia sering mengadakan kunjungan dan mengadakan prosesi “jalan salib”. Loh kok jadi lari dari thema yah? Kembali ke pokok bahasan. Nah pembaca yang budiman, Untuk lebih mengtahui penggunakan kata “bah” ini di Larantuka. Mari berbondong-bondong kungjungan ke Larantuka. Atau nantikan tulisan selanjutnya mengenai kata “bah” ini.
Hal terakhir yang ingin disampaikan penulis dan sampai saat ini masih menimbulkan tanya di benak penulis adalah ialah kata “BAH” yang muncul dalam Kitab Suci Perjanjian lama. Pasti pembaca bertanya-tanya, “emang ada?. Ya ada. Kita masih ingat peristiwa yang memusnahkan seluruh penduduk dunia dan yang selamat adalah Nuh dan keluarganya. “apa yang memusnahkan? “Air Bah”. Lagi-lagi muncul kata “Bah”. Pemikiran penulis adalah bahwa saat itu Nuh sudah bingung memberi nama untuk air yang melimpah dan mengamuk itu. Mungkin saja, saat itu ada anggota keluarganya yang mengungkapkan kata “Bah” akhrirnya Nuh menamai air yang mengamuk itu “AIR BAH”. “JANGAN TERLALU SERIUS” Untuk pragraf terakhir ini, hanya sebuah lelucon. Hehehe...(Drs)
“Bah kalau begitu, sampai disini dululah yah”

“Salam damai bagi kita semua,bah”

1.10.12

Marga Simanjuntak, titik!

Ketua SIPASADA (Simanjuntak Siopat Sada Ama) Pekan Baru, Raja Tartar Simanjuntak, mengaku kesal ketika seorang tokoh agama pernah bertanya padanya: “Simanjuntak dia do hamu?” Yang dimaksud apakah Parhorbo Jolo atau Parhorbo Pudi. “Bahkan ada orang berpendidikan, bertitel S2 atau S3, membuat pernyataan bahwa tidak (akan) pernah ada hubungan persaudaraan antara Parsuratan dengan Mardaup – Sitombuk – Hutabulu,” kata Wasir Simanjuntak, Ketua SIPASADA Bonapasogit yang dilantik Januari 2011, dalam wawancara khusus dengan pemimpin redaksi Koran Tapanuli, Jarar Siahaan.

Kegelisahan Raja Tartar dan Wasir itu juga dirasakan Jhonny Simanjuntak (28 tahun), generasi muda keturunan Raja Marsundung Simanjuntak dari Desa Hutabulu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir. “Saya tidak bisa menerima mengapa masih ada orangtua di kalangan marga Simanjuntak yang justru meneruskan mitos itu kepada anak-anaknya. Harus dihentikan, jangan lagi ada istilah Parhorbo Jolo dan Parhorbo Pudi. Makanya selama ini saya sering bermain ke Parsuratan, mereka itu juga saudaraku, dan ternyata tidak ada terjadi apa-apa seperti kata orang-orang,” kata Jhonny, Sekretaris SIPASADA Bonapasogit, kepada Koran Tapanuli.

Entah siapa yang memulai, ada sebuah cerita terkenal mengenai marga Simanjuntak, yaitu bahwa jika keturunan Raja Parsuratan Simanjuntak (dijuluki Parhorbo Jolo) bertemu dalam sebuah acara dengan keturunan Raja Mardaup Simanjuntak, atau Raja Sitombuk Simanjuntak, atau Raja Hutabulu Simanjuntak (dijuluki Parhorbo Pudi), maka konon akan terjadi hal-hal negatif. “Kalau berada dalam mobil yang sama, katanya mobil itu bisa rusak atau kecelakaan. Dang toho i,” kata Guntur Simanjuntak, mantan anggota DPRD Tobasa yang lebih dikenal sebagai pengusaha restoran mie Bahagia. Hujan lebat akan turun jika kedua pihak bertemu dalam upacara adat, tulis majalah Tempo pada 1991, dan bahkan nasi untuk pesta pun bisa tidak matang.

Tempo menulis, perselisihan sesama marga Simanjuntak ini telah berlangsung selama empat abad. Raja Marsundung, nenek moyang marga Simanjuntak, semasa hidupnya memiliki dua isteri. Yang pertama, Boru Hasibuan, meninggal saat putera tunggal mereka, Raja Parsuratan, masih kecil. Lalu Marsundung menikahi Boru Sihotang, yang melahirkan dua puteri dan tiga putera, yaitu Raja Mardaup, Raja Sitombuk, dan Raja Hutabulu. Saat Raja Marsundung meninggal, dia mewariskan seekor kerbau. Anak-anaknya dari kedua isterinya memperebutkan kerbau itu. Akhirnya mereka sepakat membaginya: bagian depan kerbau untuk sang abang, Parsuratan, dan adik-adiknya mendapat bagian belakang. Konon kemudian Parsuratan membunuh adik perempuannya, anak dari ibu tirinya Boru Sihotang, dengan maksud untuk menguasai kerbau itu. Boru Sihotang murka dan bersumpah: “Na so jadi mardomu anakku tu anakni Boru Hasibuan.” Hikayat inilah yang diteruskan turun-temurun sampai sekarang.

“Padahal kita tidak tahu kebenarannya, namanya juga mitos. Namun akibat dari kisah tersebut, harus kami akui, masih banyak sesama marga Simanjuntak tidak bisa akur terutama dalam pesta adat. Memang dalam kegiatan agama atau sosial, kami terlihat bisa akrab, tapi mengapa dalam adat tidak. Inilah yang harus dihapus. Cerita Parhorbo Jolo-Parhorbo Pudi hanyalah mitos, bahkan bisa jadi merupakan pembohongan oleh iblis supaya marga Simanjuntak terpecah-belah,” kata Wasir Simanjuntak kepada Koran Tapanuli. Dia meminta para orangtua Simanjuntak agar mendidik anak-anak mereka untuk bisa hidup berdampingan dengan seluruh keturunan marga Simanjuntak tanpa membuat pembatas antara “kita dan mereka”, Parhorbo Jolo atau Parhorbo Pudi.

Dalam silsilah Raja Marsundung Simanjuntak, Wasir sendiri berada pada garis keturunan Raja Mardaup, yaitu dari isteri kedua Raja Marsundung yang selama ini dijuluki sebagai Parhorbo Pudi. Dalam kepengurusan SIPASADA Bonapasogit, Wasir sebagai ketua didampingi oleh wakil ketua Alfaris Simanjuntak dari keturunan Parsuratan, yakni dari garis isteri pertama Raja Marsundung yang dijuluki Parhorbo Jolo.

Bagi Wasir, marga Simanjuntak adalah berkat dari Tuhan, sehingga ada istilah “Simanjuntak Ri”. Memang keturunan Simanjuntak termasuk salah satu yang terbesar dalam komunitas suku Batak Toba. Ada kiasan: Di mana ada rumput (ri), di situ ada marga Simanjuntak.

Acara pembentukan SIPASADA Bonapasogit yang digelar di lapangan Sisingamangaraja, Balige, Januari lalu, sebenarnya terhitung terlambat. Karena justru di perantauan, di provinsi lain, organisasi ini sudah terbentuk sejak bertahun-tahun lalu. Adalah Raja Tartar Simanjuntak, Ketua SIPASADA Pekan Baru, yang mendorong lahirnya SIPASADA di kampung halaman Simanjuntak itu sendiri. Penandatanganan prasastinya dilakukan oleh Raja Tartar Simanjuntak (Parsuratan), Wasir Simanjuntak (Mardaup), Djuara Panota Simanjuntak (Sitombuk), dan Djunias Simanjuntak (Hutabulu). Acara ini dihadiri keturunan Simanjuntak yang datang dari Medan, Dairi, dan Jakarta. Moses Tambunan, tokoh IPK di Medan, juga datang sebagai boru.

Bupati Toba Samosir, Kasmin Simanjuntak, menyatakan dukungannya lewat telepon walau dia tidak bisa menghadiri acara pengukuhan pengurus SIPASADA Bonapasogit karena urusan tugas dinas ke luar kota. “Ahu pe pomparan ni Raja Marsundung Simanjuntak do,” kata Kasmin seperti dibacakan Wasir. Secara pribadi Kasmin memberikan bantuan dana Rp5 juta.

Sejalan dengan akronim namanya, sipasada, yang bermakna pemersatu, kehadiran SIPASADA di Tanah Batak diharapkan mampu mengakhiri mitos Parhorbo Jolo-Parhorbo Pudi. Seperti diungkapkan Jhonny Simanjuntak, Sekretaris SIPASADA Bonapasogit, kalau selama ini dia berkenalan dengan sesama marga Simanjuntak, dia tidak pernah bertanya apakah orang tersebut merupakan keturunan Boru Sihotang (Parhorbo Pudi) seperti dirinya ataukah Boru Hasibuan (Parhorbo Jolo). “Dan saya juga tidak suka apabila ada orang lain mengajukan pertanyaan begitu pada saya. Marga Simanjuntak do ompung nami, goarna Raja Marsundung Simanjuntak.”

Selama acara SIPASADA berlangsung di Balige, di mana sekitar seribu orang keturunan Raja Marsundung berkumpul, saling sapa, menari tortor bersama-sama, dan berpelukan — baik dari Parsuratan, Mardaup, Sitombuk, dan Hutabulu — ternyata tidak ada hujan, badai, kecelakaan, atau bencana. Cuaca sangat cerah hingga acara usai di sore hari. Nasi yang dimasak panitia pun matang. (JararSiahaan.com)

2.11.11

Supir atau Kernet?

Ceritaku hari ini untuk semua saudaraku yang disini. Bukan karangan atau hasil imajinasiku ya? :)
Cerita ini terjadi ketika aku tinggal di Makassar. Kusebutlah dia Ito (bukan kalian angka itoku ya? Hehehe...)

Ito : Ito boru Simanjuntak apa? Maksudku Supir atau Kernet?
Aku : Wah...aku ga tau Supir atau Kernet krn ga ada Angkot atau Bus kami....hehehe.
Ito : Serius dulu ito...
Aku : Loh??? Serius aku. Memang kami ga punya Bus atau Angkot. Bapakku juga bukan Supir, Bapakku dulu hanya seorang Guru SD di desa..
Ito : Jadi boru Simanjuntak apa nya ito?
Aku : Aku boru Simanjuntak Parsuratan ito....
Ito : Parsuratan itu Horbo Jolo atau Horbo Pudi?
Aku : Ito...walaupun tinggal kami di desa tapi kami ga punya Horbo... Sawah kami ga punya untuk apa Horbo? Oppungku pun pedagangnya, jadi dang adong horbo nami (walaupun aku tau maksud ito an itu, hehehe...)

Ito : Ehe...Ito inilah bercanda terus...! Ya sudahlah klu ito ga mau kasih tau... Tapi, ito tau kan cerita kenapa terjadi perpecahan antara Simajuntak Horbo Jolo dengan Horbo Pudi? Kenapa itu bisa terjadi ito?
Aku : Aku memang pernah dengar cerita itu tapi bukan dari orangtuaku, melainkan dari lingkungan sekolah, kampus dan lingkungan sosialku dimana hal ini sangat-sangat kelihatan sekali. Aku hanya bisa bilang ke ito kalau aku tidak percaya dengan cerita yg beraneka macam versi yang menyudutkan salah satu pihak. Aku tidak hidup di zaman ketika cerita itu terjadi dan orangtuaku serta keluarga kami tidak pernah menceritakan atau mengatakan kami untuk menjadi bagaimana harus bersikap terhadap kebenaran cerita itu. Yang aku ingat sampai sekarang hanya pesan dari Oppung dan Bapakku yang sekarang telah tiada yang mengatakan: "Inang...ho boru Juntak, boru panggoaran jala pahoppu panggoaran. Harus hormat kepada yang semarga mu, jaga nama baik keluarga terutama "KELUARGA SIMANJUNTAK" Ketika kau coreng nama baik keluarga, ingatlah bahwa kau juga telah mencoreng nama baik "KELUARGA BESAR S IMANJUNTAK"

Ito : Gitu ya ito? Jadi ito ga tau cerita tentang perpecahan itu ya?
Aku : Aku tau ceritanya tapi tidak tau dan tidak percaya akan kebenarannya. Kalau mau tau kebenarannya ito tanya aja kepada orang yang hidup dan yang melihat langsung ketika peristiwa itu terjadi(dalam hati jengkel sekaligus geli sambil berkata dalam hati "cari aja sampai loja" hehehe)
Ito : Iyalah ito, terimakasih buat bincang-bincangnya..
Aku : Sama-sama ito...(tapi dalam hati bilang gini  "kayak bincang-bincang di TV aja")

Maaf klu terlalu panjang,namanya juga yg marcarita, hehehe. Ini ceritaku, mana ceritamu?:)
(Ervina Simanjuntak)

5.10.11

Doa Sang Pemulung



Pagi-pagi buta aku sudah berangkat. Saat itu istri dan anakku masih larut dalam mimpi-mimpi mereka. Mereka tidak tahu bahwa aku sudah berangkat mencari barang rongsokan. Aku tak mau membangunkan mereka. Biarlah!! Biarlah mereka tidur dan terbangun saat cahaya matahari menyentuh kulit mereka. Kulit yang sangat kering dan tak menarik untuk dipandang. Tak ada hal yang menarik untuk diperhatikan. Wajah mereka lesu dan tak bersemangat, hidup mereka penuh dengan kamiskinan dan kelaparan. Walaupun demikian aku sangat mencintai mereka.

Terkadang aku merasa bersalah, karena telah membawa mereka ke dalam kehidupan seperti ini. Hidup yang tak jelas masa depannya. Hidup yang hanya bertumpu pada barang rongsokan. Barang rongsokan menjadi sarana penyambung hidup kami. Kalau mendapat banyak, aku akan sangat senang kembali kerumah. Tapi kalau sedikit! Ah… begitu berat rasanya kembali ke rumah dan aku ingin mencari rongsokan sampai malam tiba. Itulah sebabnya aku harus bangun lebih awal dan segera mencari rongsokan supaya tidak didahului orang lain yang nasibnya sama seperti aku. Inilah hidup, hidup yang dipenuhi dengan persaingan, bahkan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak berguna untuk orang kaya pun harus kami perebutkan.

Setiap harinya, aku harus menyusuri jalan raya untuk mencari barang rongsokan. Kadang aku harus mencari di selokan dan sungai-sungai yang sudah penuh dengan kotoran hewan bahkan kotoran manusia yang tak peduli lagi akan kebersihan lingkungan. Sebenarnya, kalau di setiap lokasi perumahan tidak ada tulisan pemulung, pengamen, dan pengemis di larang masuk, aku tak usah susah payah berjalan puluhan kilometer mencari barang rongsokan atau di sungai-sungai yang sudah tercemari kotoran. Barang rongsokan dan plastik yang dibuang orang-orang yang bermukim di sana sudah cukup untuk mengisi karungku sampai penuh. Tapi yang terjadi bukanlah demikian. Tulisan itu begitu jelas terpampang di jalan masuk lokasi perumahan itu. Saya tidak tahu, apa alasan mereka membuat tulisan itu. Mereka pikir kami ini siapa? Pencuri? Penjahat? Atau setan?. Mungkin lebih baik tulisan itu diganti dengan kata-kata ini pemerintah, pejabat dan pengusaha dilarang masuk, karena merekalah yang lebih banyak menghabiskan uang rakyat. Aku rasa akan lebih aman kalau demikian. Dan kalau dipikir-pikir, kami malah membantu mereka membersikan pekarangan dan tong sampah mereka.

Aku pernah memberanikan diri untuk masuk. Ketika masuk satpamnya tidak berada di pos jaga. Akupun dengan leluasa mengumpulkan barang bekas dan plastik-plastik yang ada di tong sampah. Karung yang kubawa pun penuh dengan waktu yang sangat singkat dan aku tidak perlu lagi berjalan jauh seperti hari sebelumnya. Tapi sungguh tak kuduga, seorang satpam telah berdiri di pintu keluar dan alat pemukul telah siap di tangannya. Sepertinya ia sudah lama mengamatiku. Belum sempat aku mengatakan sepatah katapun, satu pukulan sudah mendarat di dadaku. Saat itu aku mencoba melawan, tapi saat aku mencoba untuk berdiri, kepalan tangan satpam itu sudah kembali mendarat dan kali ini tepat di wajahku. Tak henti-hentinya ia memaki aku. Bukan itu saja, barang rongsokan yang sudah kukumpulkanpun disita olehnya dan aku pulang dengan tangan kosong.

Saat itu beban hidupku sangat berat, istriku yang sangat kucintai sedang mengandung anak kami yang kedua dan akan segera melahirkan. Aku tak punya uang simpanan untuk membiayai persalinannya. Sepeserpun aku tak punya. Semua hasil yang kukumpulkan hanya cukup memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Aku marah pada diriku sendiri. Aku merasa orang yang paling tidak bertanggung jawab. Kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan, apa yang harus kulakukan sekarang? Tidak mungkin aku pulang, apa yang akan kukatakan kepada istriku? Aku tidak mau menunjukan luka tonjokan yang di wajahku. Oh……Tuhan apa yang harus kulakukan? Mengapa semua ini terjadi padaku?

Sesampainya di rumah, dia menyambutku dengan senyumnya. Dia telah menyiapkan teh manis hangat dan ubi goreng seperti hari-hari sebelumnya. Di balik senyumnya aku menemukan satu harapan bahwa aku akan membawa kabar baik tentang hasil pencarianku hari itu. Tetapi harapannya sirna ketika melihat wajahku yang bengkak karena tonjokan. Ia sangat terkejut dan tanpa banyak kata ia mengambil air hangat dan langsung membersihkan luka memar di wajahku. Saat dia membersihkan wajahku aku mulai bercerita tentang kejadian siang itu. Air matanya seperti sungai saat dia mengetahui kejadian yang sebenarnya. Saat aku mengakhiri semua ceritaku, ia semakin mendekat dan memeluku. Mungkin dalam hatinya ia berkata “ Maafkan aku Mas, aku tak mampu membantumu di saat seperti ini.” Menyaksikan semua yang terjadi malam itu, dalam hatiku tumbuh semangat untuk memberikan yang terbaik untuk istri dan anak-anakku. Aku akan selalu rajin bekerja dan berusaha untuk bangun secepat mungkin untuk mengumpulkan barang rongosokan di sepanjang jalan.

* * * * * * *
Kulangkahkan kakiku dengan mantap dan berharap bahwa hari ini aku menemukan rongsokan sebanyak mungkin. Aku harus berjuang memenuhi kebutuhan kami dan menabung untuk keperluan masa depan anakku. Aku tidak mau nasib anak-anakku sama seperti nasibku saat ini. merekalah satu-satunya tumpuan harapanku untuk memperbaiki kehidupan keluarga kami. Mimpi-mimpi akan masa depan anakku selalu terngiang di kepalaku. Mimpi-mimpi itulah yang selalu memacu semangatku untuk selalu giat bekerja. Aku tak ingin lagi mengulangi tragedi yang sangat menyedihkan itu. Harapanku untuk leluasa masuk ke lorong-lorong pemukiman itu telah kandas ditelan waktu. Biarlah aku tetap menyusuri jalan raya ini, jalan yang panjang dan tanpa tujuan.
Disela-sela kegiatan dan pekerjaanku yang berat dan membutuhkan tenaga yang kuat, tak lupa aku menyisihkan waktu untuk bertemu barang sejenak dengan Dia yang menguatkanku yaitu Yesus.

Ketika malam tiba, setelah istri dan anakku sudah tidur, aku berlutut memohon kekuatan dari pada-Nya. Tak lupa juga aku mendoakan istri dan anakku. Dalam doa aku selalu memohon “Yesus Tuhanku, lindungilah istri dan anakku. Kuatkanlah mereka agar mampu menerima situasi-situasi sulit dalam hidup ini. Jagalah hati mereka dari iri dan dengki terhadap mereka yang kaya. Kuatkanlah jiwa mereka, bimbinglah di jalan-Mu. Kuatkanlah juga aku agar mampu menopang kehidupan keluarga. Tuhan hanya Engkaulah harapanku satu-satunya. Ya, Bunda Maria yang baik hati dampingilah kami selalu. Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu terpujilah engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuhmu,Yesus. Santa Maria bunda Allah doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati.” Amin.

Doa inilah yang selalu ungkapkan setiap malam. Aku merasa tanpa Yesus hidupku tak berarti apa-apa. Dialah yang selalu memberikan kekuatan kepadaku. Dia yang selalu menemani perjalananku setiap hari. Tak pernah Ia tinggalkan aku, bahkan ketika aku mengalami kesusahan, Dia selalu hadir. Baik buruk nasibku di kemudian hari hanya Dia yang tahu, yang penting aku percaya bahwa Dia akan memberikan yang terbaik bagiku dan keluargaku. Memang!! Yesusku luar biasa.

Kenangan di Pematang Sawah

Junaidi! Di pematang sawah ini, aku mengenangmu. Mengenang kisah hidupmu, mengenang kisah-kisah yang kau ceritakan, dan kisah antara kau dan aku.
”Ibuku petani,” katamu suatu kali. ”Dia sering mengajakku ke sawah. Dia selalu berpesan padaku, ’Kalau kau besok sudah jadi orang yang berhasil, jangan lupa akan sawah ini. Inilah yang membuatmu bisa sekolah.’ Aku selalu pergi ke sawah itu. Kadang bekerja, kadang hanya sekedar mengenang dan menyendiri,” katamu.
Suatu saat kau mengajakku ke situ. Sejak pagi kita berada di sana. Menyiangi padi. Tak bisa kulupakan saat-saat itu. Hamparan padi yang menghijau. Berkali-kali aku memandanginya. Sore menjelang senja, kita duduk di pematang sawah itu.
”Kau suka suasana ini?” tanyamu.
”Ya, ada sesuatu yang tak terkatakan muncul dalam hatiku.”
”Harapan?” tanyamu. Aku terkejut. Tak kusangka kau tahu isi pikiranku.
”Dari mana kau tahu?”
”Aku hidup dan besar di sawah ini. Padi-padi ini mengajariku. Ya, saat kau menghayati apa yang kau kerjakan, kau akan belajar banyak tentang kehidupan darinya,” katamu.
Kita duduk lama sekali. Tak banyak kata yang keluar dari mulut kita. Akhirnya kau memecahkan keheningan itu.
”Mengapa kau mau ikut ke desa ini?”
”Aku hanya mengikuti kata hatiku.” Saat itu kau diam. Lama sekali. Kau habiskan sebatang rokok tanpa bicara apapun.
Lalu kau mengajakku pulang. ”Aku belum ingin pulang. Aku merasa damai di sini,” kataku. Kutahu, hari sudah sore. Di ujung sana ada senja.
”Jika kau ingin, kapan-kapan kita bisa ke sini lagi.” Akhirnya kita pulang. Masih kuingat kata-kata terakhirmu di pematang sawah itu, ”Kamu boleh kehilangan segala sesuatu, kecuali harapan. Itulah harta para petani yang paling berharga. Harapan akan datangnya hujan. Harapan akan tumbuhnya tanam-tanaman. Harapan akan panen yang melimpah.” Kata-katamu itu, kuukir di hatiku. Aku takkan pernah lupa itu.
Dan kini, aku duduk sendirian di pematang sawah ini. Bukan di pematang sawah tempat kita dulu. Tapi di sawah yang berbeda. Kulihat hamparan padi menghijau. Dan kuingat satu kata: harapan.
Suatu kali kau bercerita. ”Saat aku masih kecil, ayahku meninggal. Ibu sendirian membesarkan kami. Pagi hari ia menyuruh kami ke ladang sebelum sekolah. Mengambil singkong, mengambil kayu bakar. Mengantarkan kerbau ke padang rumput. Lalu kami pulang ke rumah, mandi, sarapan dan pergi sekolah. Malam hari, aku sering melakukan suatu ritual: mengintip apa saja yang dilakukan ibuku. Biasanya, setelah ia mengira semua anaknya sudah tidur, ia menganyam tikar. Setelah itu ia siapkan bahan masakan untuk pagi. Dan terakhir, inilah yang paling membuatku terperangah, ia berdoa kira-kira seperempat jam. Kadang sambil menangis. Sering aku dengar samar-samar doanya: Allah, kepadaMu aku berharap. Semoga api harapan itu Kau tanamkan di hati anak-anakku ini, supaya mereka kelak berhasil dalam hidupnya.”
Saat kau terdiam, aku berkata, ”Sekarang aku tahu kenapa kau selalu memutar lagu ’Di doa Ibuku’.” Kau hanya tersenyum.
Junaidi. Pertama kali aku mengenalmu saat kita mengerjakan tugas seminar di bangku kuliah dulu. Ya, di fakultas pertanian. Kau selalu tenang. Tak banyak kata. Namun setiap kata yang kau keluarkan terasa bermakna. Ide-idemu cemerlang. Dan kau tahu, saat itu ada sesuatu daya yang memancar darimu, yang menumbuhkan sesuatu di dalam hatiku.
Suatu malam, aku sangat terkejut. Di restoran itu, kau membawa daftar menu ke meja kami. Saat itu aku seperti tak percaya akan apa yang kulihat. ”Kau??? Kau??? Junaidi???”
Kau hanya tersenyum. Menganggukkan kepala. ”Aku bekerja di sini kalau malam hari,” katamu.
Setelah tiga bulan berkenalan, kita berteman. Pacaran.
”Ada suatu kisah,” kau bercerita pada suatu malam. ”Suatu pagi, seorang putri istana berjalan-jalan di tepi hutan. Ia bertemu seekor rubah. Melihat rubah itu, sang putri jatuh cinta. Mereka akhirnya pacaran. Si rubah berkata, ’Putri, aku hanyalah seekor binatang hutan. Aku hidup bebas di sini. Mencintaimu, aku merasa tak pantas. Kau adalah putri istana. Lagi pula, barangkali suatu saat aku akan pergi entah ke mana. Aku tak mau membuatmu kecewa. Tinggalkan aku, Putri. Biarkan aku hidup bebas’.”
Masih ingatkah kau, Junaidi? Saat ceritamu sampai pada titik itu, aku menangis. Aku tahu ke mana arah ceritamu.
”Kenapa kau menangis?” tanyamu.
”Tidak. Rubah itu tidak boleh pergi. Cinta mereka akan abadi.” Kataku, namun dalam hati kecilku, kutahu rubah itu akan pergi.
Kita jalani hari-hari, minggu, bulan dan tahun-tahun kuliah kita. Kau sering mengajakku ke kampungmu. Ke sawah itu. Aku sangat sayang pada ibumu, dan pada adik-adikmu. Ibumu juga sangat sayang padaku.
”Kau tahu, Nak, saat ayah mereka pergi, hidupku berantakan,” kata ibumu saat kami berdua berada di sawah itu. ”Sendirian menyekolahkan lima anak bukanlah hal yang mudah. Namun apa yang kulakukan? Aku bangkit, Nak. Aku ingat kata-kata ibuku dulu saat aku mau menikah. ’Putriku, kau tahu apa yang membuat ibu mampu bertahan menghadapi aneka macam penderitaan yang menimpa ibu? harapan! Sebanyak atau seberat apapun nanti masalah yang kau hadapi, jangan pernah kehilangan harapan. Karena harapanlah hal terindah dalam hidup kita.’ Itulah, Nak, yang selalu mengiang di hatiku, sehingga aku bisa menyekolahkan mereka semua.”
Junaidi! Perlahan-lahan, kata itu tumbuh dan berkembang dalam hatiku, dalam hidupku. Memang, tak selalu mudah untuk berharap. Aku tahu itu saat si rubah pergi.
”Aku akan pergi,” katamu dulu. Kau tinggalkan aku. Kau tinggalkan ibu dan keluargamu. Kau tinggalkan segalanya. ”Aku ingin pergi, menjadi sang pengelana ditengah padang nan gersang ini,” katamu sedikit puitis. Dan saat itu, aku hanya bisa menangis. Setelah berbulan-bulan, barulah muncul kembali kata itu, harapan. Aku bangkit, aku membangun hidupku. Aku tahu, kau takkan pernah kembali.
Setelah kepergianmu, beberapa kali hidupku runtuh. Musibah itu menimpa keluargaku. Perusahaan ayah bangkrut. Ayah stroke. Tak lama kemudian ia meninggal. Ibuku terserang kanker payudara. Dan kau tahu, hidup kami berantakan.
Saat-saat itu, aku seperti kehilangan segalanya. Bahkan kehilangan Tuhan. Mengapa di saat kami mengalami gelap yang paling gelap, Tuhan hanya diam? Tak memberi cahaya? Setahun kemudian, aku teringat pesan terakhirmu dulu di pematang sawah itu, ”Jangan pernah kehilangan harapan.” Dan perlahan-lahan, imanku kembali. Harapanku kembali. Tuhanku kembali.
Kini aku bekerja di desa ini sebagai penyuluh pertanian. Aku telah menikah dan mempunyai dua orang anak.
Minggu lalu aku sangat terkejut melihatmu berpidato didepan khalayat ramai.”Kadang-kadang, kita seperti berada di reruntuhan,” katamu. ”Tanpa masa depan. Yang ada hanya tangisan. Namun tahukah kalian? Kita bisa bangkit, kita bisa membangun kembali reruntuhan itu kalau kita memiliki satu hal: harapan. Saat hidup Anda runtuh, Anda bisa bangkit kalau bulir-bulir harapan itu Anda biarkan hidup. Anda boleh kehilangan segala sesuatu, kecuali harapan.” Setelah lama melang-lang buana, ternyata kau kembali ke kota ini, tapi tidak seperti dulu lagi. Kau sudah berhasil. Junaidi, di tengah hamparan padi ini, kulihat bulir-bulir itu.

Sejarah Tuak Batak

Tuak yang menjadi minuman khas orang-orang Batak memang aslinya disadap dari pohon bagot, akan tetapi tuak minuman khas itu dapat pula disadap dari pohon kelapa. Maka secara umum bagi orang Batak sekarang ini bahwa tuak berdasarkan sumbernya dibagi dalam dua kategori yang disebut tuak bagot dan tuak kalapa. Berdasarkan prosesnya dikategorikan sebagai tuak raru dan tuak na tonggi. Dan adapula yang disebut sebagai tuak tangkasan yaitu tuak yang selalu disertakan sebagai minuman dalam suatu prosesi adat, termasuk tuak na tonggi yang pada umumnya dikhususkan untuk kaum wanita walaupun banyak pula kaum lelaki yang menggemarinya.
Secara umum tuak dikenal oleh masyarakat di Indonesia adalah jenis minuman yang disebut arak. Jenis minuman dari tuak yang lebih ringan dan lebih segar disebut nira, dengan rasa manis menyegarkan, tetapi nira sebenarnya disadap dari pohon kelapa dan bukan dari bagot. Melihat tuak secara fisik adalah seperti seduhan susu yang berwarna putih dan adapula yang berwarna putih kekuningan, sementara nira juga berwarna putih lebih bening.

Tuak, disamping sebagai minuman, merupakan bahan baku untuk pembuatan gula dengan berbagai sebutan seperti gula aren atau gula merah atau gula jawa karena orang-orang jawa memang lebih banyak memproses tuak menjadi gula. Untuk memproses tuak menjadi gula sangatlah sederhana. Secara tradisional, tuak hanya dimasak diatas kuali dengan kayu bakar selama beberapa jam, lalu diaduk sampai mengental dan dituang kedalam cetakan yang biasanya terbuat dari bongkol bambu atau batok kelapa. Belakangan ini tuak sudah diproses secara moderen menjadi kristal gula yang disebut palm sugar atau brown sugar dan penjualannya tidak lagi di pasar-pasar tradisional melainkan di super market dengan kemasan bermerek dagang untuk olesan gula pada roti. Tuak juga sebagai bahan mutlak untuk membuat cuka makan yang disebut Arenga Vinegar.

Bagaimana tuak menjadi minuman khas orang Batak dan bahkan menjadi penganan yang disertakan dalam prosesi adat, tentu sudah sangat panjang sejarahnya. Bermula dari sebuah legenda bagot (nama lain: arenga pinnata) yang dianggap sebagai pohon mistis. Sewaktu Marco Polo mengunjungi Sumatra tahun 1290, menyebutkan bahwa bangsa Batak sudah gemar minum tuak.

Bangsa Batak melegendakan sebelum penciptaan manusia bahwa di kerajaan Banua Ginjang (kayangan) sudah ada komunitas dewa-dewi yang dipimpin oleh Mulajadi Nabolon (Maha Pencipta Alam Semesta). Dewa Batara Guru memiliki putra dan putri yang menjadi dewa dan dewi, dan dua putrinya bernama Dewi Sorbajati dan Dewi Deakparujar. Sementara Dewa Mangalabulan juga memiliki putra dan putri yang menjadi dewa dan dewi. Salah seorang putra Dewa Mangalabulan bernama Dewa Odapodap sudah cukup dewasa untuk mendapatkan seorang putri pendamping. Dewa Mangalabulan bersusah hati karena putranya Dewa Odapodap berburuk rupa karena bentuknya seperti ilik atau sejenis kadal sehingga Dewa Odapodap merasa malu untuk keluar rumah untuk mencari sendiri pasangannya. Kegundahan Dewa Mangalabulan tentang anaknya ini memberanikan dirinya untuk mengadukannya kepada Mulajadi Nabolon dan meminta agar Dewa Odapodap dapat dinikahkan dengan putri Dewa Bataraguru. Lalu Dewa Mangalabulan pergi menghadap Dewa Bataraguru untuk melamar putrinya agar dipasangkan kepada putranya yang berbentuk kadal tersebut. Oleh karena lamaran ini adalah atas persetujuan Mulajadi Nabolon maka Dewa Bataraguru menyetujui untuk menikahkan putrinya Dewi Sorbajati dengan Dewa Odapodap. Olehkarena mengetahui Dewa Odapodap berburuk rupa seperti ilik maka Dewi Sorbajati tidak rela namun tidak kuasa untuk menolak perintah ayahnya. Singkat cerita, Dewi Sorbajati memohon agar pesta perkawinannya diiringi dengan gondang dan dia ingin melampiaskan tekanan dan penolakan jiwanya dalam tarian. Dewi Sorbajati menari semalaman hingga dia mengalami trance dan melompat ke Banua Tonga (dunia fana/ alam nyata, yang kita kenal sekarang). Pada masa itu Banua Tonga masih berupa lautan dan tidak ada tanah untuk berpijak, maka Dewi Sorbajati terombang ambing di lautan.

Karena pesta perkawinan harus berlangsung maka Dewa Bataraguru meminta putri kedua yaitu Dewi Deakparujar untuk menerima Dewa Odapodap menjadi suaminya. Dengan terpaksa dia menerimanya dengan syarat dan memohon kepada Mulajadi untuk diberikan segumpal kapas agar dia terlebih dahulu memintal benang dan kemudian menenun ulos yang disebut Ulos Bintang Maratur. Sewaktu memintal benang, Dewi Deakparujar memperlama pemintalannya sehingga Mulajadi Nabolon menegurnya. Sewaktu Mulajadi Nabolon menghampirinya maka dia terkejut dan terjatuhlah pintalan benang tersebut dan tongkol benangnya bergantung-gantung di Banua Tonga. Dengan rasa takut dan gemetar dia menarik tongkol benang tersebut akan tetapi tongkol benang tersebut terus melorot mengakibatkan Dewi Deakparujar terpeleset dan ikut tergantung di Banua Tonga. Lalu dia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar dia diberikan segumpal tanah untuk tempatnya berpijak sambil melakukan penenunan ulos. Semakin lebar ulos ditenun maka semakin lebar pula tanah berpijaknya karena ulos yang ditenun tersebut menjadi hamparan tanah tempat tinggalnya. Akhirnya Mulajadi Nabolon dan para dewa mengutus Dewa Odapodap untuk menemui Dewi Deakparujar dan kemudian menjadi pasangan yang melahirkan manusia Batak pertama di Banua Tonga.

Dewi Sorbajati yang terapungapung di air lautan akhirnya terdampar ditanah yang ditempa oleh Dewi Deakparujar dan bertumbuh menjadi sebuah pohon yang disebut bagot. Maka bagot menjadi pohon mistis yang seluruh bagian-bagiannya sangat berguna bagi keperluan manusia. Daunnya dapat di anyam untuk digunakan atap atau dinding sopo di sawah dan ladang. Lidi daunnya dapat dibuat untuk sapu lidi dan penggunaan pada anyaman atap rumah atau tusuk sate dan keperluan lainnya. Ijuknya dapat digunakan untuk atap ruma batak, termasuk untuk penyaringan air, atau bahkan dapat digunakan untuk busa jok mobil yang mahal harganya. Ijuh halus yang terdapat pada pelepah pohon dulunya digunakan untuk menyalakan api dari percik lantakan batu api. Sagu yang terdapat pada tengah batangnya dapat diproses menjadi bahan makanan yang disebut mie bihun. Batak Karo dulunya memanfaatkan sagu bagot untuk pembiakan sejenis ulat sagu yang berwarna putih dan penjadi penganan khas yang disebut kidu-kidu dan sangat kaya dengan protein tinggi. Batang kerasnya dapat digunakan untuk titian anak sungai atau bila dibelah akan menjadi bahan untuk penyaluran air ke sawah. Batang ini pula yang digunakan untuk cantolan pengikat atap ijuk pada Ruma Batak yang disebut tarugi. Buahnya (halto) digunakan untuk bahan makanan yang disebut kolang-kaling. Dari tangkai bunga jantan yang tidak bakal menjadi buah dapat disadap untuk mengambil tetesan airnya untuk menjadi tuak dan produk-produk yang disebutkan sebelumnya, disebutlah sebagai air susu sang dewi Siboru Sorbajati.

Demikianlah hanya secuil cuplikan legenda bagot sebagai pohon mistis bagi orang Batak dan kenyataannya tidak termanfaatkan kegunaannya yang menyangkut hajat hidup orang-orang Batak secara ekonomis, bahkan ada berupa pantangan bila ada bagot yang tumbuh dekat rumah akan mendatangkan bencana, karena katanya bagot menjadi sasaran empuk dari sambaran petir.

Pada masa sekarang ini orang Batak memanfaatkan bagot hanya sebagai penghasil tuak, sementara kegunaan lainnya hampir tak dimanfaatkan lagi. Mungkin ini pula yang mengindikasikan kehidupan perekonomian rakyat di desa-desa Tanah Batak begitu melorot karena memang sudah tidak memaknai lagi bahwa bagot adalah jelmaan dari dewi yang dulunya bermukim di kayangan yang pada dasarnya sebagai salah satu unsur tani yang mampu memakmurkan. Apakah pohon produktif seperti kopi sigarar utang atau mangga atau pinasa atau durian atau haminjon mampu menandingi fungsi2 yang dihasilkan oleh bagot? Dari kajian yang diuraikan diatas tentu bagot merupakan superior dari tanaman-tanaman endemik yang tumbuh di Tanah Batak. Apakah pula ini mengindikasikan datangnya kutukan karena tidak menghargai satu jelmaan Dewi yang dipercaya oleh orang Batak dahulu? Wallahuallam! Kita boleh menilai sendiri.

Bagot sebagai pohon produktif bukanlah merupakan pohon yang dibudidayakan oleh orang Batak, melainkan tumbuh secara alami melalui penyebaran binatang seperti rubah dan musang. Habitat tumbuhnya sekitar 200-1200 dpl namun lebih produktif untuk menghasilkan tuak pada ketinggian tumbuh sekitar 350-900 dpl. Pada tanah dataran rendah sekitar permukaan laut tanaman ini tidak tumbuh sehingga produksi tuak diperoleh dari penyadapan pohon kelapa yang menghasilkan tuak dan nira. Disamping sebagai pohon yang pada dasarnya bernilai ekonomis tinggi, maka bagot merupakan penyangga kesuburan tanah karena mampu menahan banyak air tanah dan mencegah kelongsoran tanah-tanah bertebing.

Kalau kita menyusuri jalan-jalan lintas di Tanah Batak semisal jalan lintas selepas Sipirok sampai ke Medan atau selepas Sibolga sampai ke Medan, maka di kiri kanan jalan akan banyak terlihat kedai-kedai yang disebut lapo tuak sebagai tempat orang-orang Batak meluangkan waktunya berkumpul bercengkerama antar sesama untuk menikmati tuak sebagai minuman khas. Ada tercatat dalam sejarahnya bahwa komunitas Batak yang ada di Tanah Batak memang sangat doyan minum tuak yang memang kontur tanahnya berbukit-bukit bercuaca relatif dingin sehingga membutuhkan kehangatan melalui kebiasaan minum tuak. Sebelum Tanah Batak dijajah Paderi tak terkecuali komunitas Batak di Tanah Batak selatan juga doyan dengan minum tuak, namun di jaman kemerdekaan ini komunitas Batak di utara lah yang tetap memelihara ke-khas-an ini sampai sekarang dan bahkan sampai keseluruh pelosok tanah air dimana bermukim orang-orang Batak akan selalu ada yang disebut lapo tuak.

Kehangatan tuak yang memang mengandung kadar alkohol sekitar 3-5% merupakan minuman murah meriah yang tidak memandang klas dan status sosial bagi pengkonsumsinya. Dahulu di Tanah Batak ada diproduksi jenis minuman keras golongan B atau A yang disebut gimlet yang konon katanya terbuat dari buah haramonting sejenis tanaman semak liar yang banyak tumbuh di Tanah Batak, namun jenis minuman ini sudah tidak kelihatan lagi dan mungkin dilarang atau kalah bersaing dengan tuak. Kandungan mineral yang cukup komplit dari tuak sebenarnya berguna untuk kesehatan tubuh apabila dikonsumsi secukupnya sesuai dengan kebutuhan. Ada anggapan bahwa seseorang yang berpenyakit gula (diabetes) dianjurkan untuk mengkonsumsi tuak karena kadar gula darah dapat terlarut oleh mineral yang terdapat pada tuak dan dikeluarkan melalui respirasi kencing. Oleh karena lancar kencing ini pula maka tuak dianggap sangat baik untuk mencegah penyakit ginjal dan kencing batu. Tuak na tonggi untuk kaum wanita terutama yang baru melahirkan sering diberikan karena dianggap sebagai penambah darah dan menghangatkan serta akan memperlancar pengeluaran air susu untuk si bayi dan diasumsikan sang Dewi Sorbajati yang memelihara sang bayi dengan air susunya alias tuak. Wallahualam! Masih perlu diadakan penelitian supaya dapat teruji secara medis.

Proses pembuatan tuak menjadi minuman sebenarnya tidak memiliki standar baku makanya secara umum bahwa setiap tuak yang disajikan di lapo tuak mempunyai citarasa yang berbeda-beda. Setiap penyadap (parragat) memiliki standar racikan sendiri-sendiri yang saling menonjolkan keunggulannya. Tuak yang dikonsumsi siap minum bukanlah tuak yang langsung turun dari sadapan melainkan masih melalui racikan oleh parragat karena tuak yang dari ragatan masih kental dan bahkan hampir seperti bubur. Formula racikan tuak biasanya dirahasiakan oleh parragat, namun sesama parragat sebenarnya sudah saling mengetahui formula tuaknya semisal yang disebut sebagai formula 1-4, 1-6, 1-8 yang artinya pencampuran antara tuak asli yang belum dapat diminum dengan air sebagai campuran pengencer. Kadang-kadang racikan tuak yang sampai di Lapo masih pula diracik oleh parlapo dengan harapan akan mendapat keuntungan yang lebih banyak dengan mengorbankan rasa dan efek kehangatan dan penenangan pikiran. Oleh karena belum ada standarisasi pencampuran tuak yang layak minum maka sangat disangsikan pula nilai higienisnya. Adakalanya pencampuran dilakukan dengan memberikan air yang belum matang dan disangsikan kebersihannya. Adapula peracikan yang diberi air cucian beras untuk mengelabui warna putih dan adapula racikan dicampur dengan ragi untuk berusaha menyamai rasa. Maka tak jarang bahwa setelah meminum tuak seseorang menderita sakit perut atau mencret-mencret.

Dari perbandingan pencampuran tuak asli dengan air dengan komposisi tertentu dapat diperoleh tuak siap minum yang terasa manis, dan inilah yang disebut sebagai tuak na tonggi. Jenis tuak manis biasanya digemari oleh para wanita termasuk juga para kaum pria akan tetapi secara umum kaum pria lebih menggemari tuak yang mengandung rasa pahit tertentu sebagaimana yang tersedia di lapo tuak. Untuk mendapatkan rasa pahit tertentu ini maka tuak akan dibubuhi sejenis serat kayu yang disebut raru. Jenis raru pun ada dua jenis yaitu yang tidak mengeluarkan warna sehingga warna tuak tetap sebagaimana warnanya, tetapi ada juga raru yang mengakibatkan warna tuak agak berubah menjadi berwarna lebih kuning.

Tuak yang disajikan di bonapasogit memanglah tuak yang berasal dari bagot maka disebutlah sebagai tuak bagot. Sedangkan tuak yang ada di tanah dataran rendah seperti di Kota Medan, Jakarta dan kota-kota lainnya yang berada di dataran rendah adalah disebut tuak kalapa karena habitat bagot tumbuh di dataran relatif tinggi sedang kelapa tumbuh di dataran rendah.

Sering juga kita mendengar sebutan tuak tangkasan padahal tuak tersebut bukanlah tuak tangkasan yang sebenarnya. Ada asumsi kalau tuak tangkasan disebut hanya karena rasanya yang enak sesuai selera, padahal tuak tersebut sudah dari hasil sadapan tangkai yang kesekian kalinya. Tuak tangkasan sebenarnya adalah tuak yang dihasilkan dari tangkai bunga yang pertamakali disadap dari satu pohon bagot dan biasanya memang mengandung citarasa yang lengkap sebagai tuak konsumsi. Kalau tuak yang disadap dari tangkai bunga berikutnya tidak lagi disebut sebagai tuak tangkasan dan mungkin kandungan mineral yang mempengaruhi cita rasanya sudah tidak sama lagi dengan sadapan dari tangkai yang pertama. Keduanya tuak tangkasan dan tuak na tonggi dahulu selalu disajikan dalam suatu prosesi adat, namun belakaangan ini keberadaan tuak tangkasan dan tuak na tonggi sudah ditukar dengan amplop yang berisi uang sejumlah tertentu sebagai media adat dan disebut pasi tuak na tonggi (pemberian sejumlah dana agar sipenerima dapat membeli sendiri tuak na tonggi). Dalam acara adat pemberian makan khusus kepada orang tua yang disebut manulangi selalu disertai dengan pemberian tuak na tonggi sebagai minumannya dengan harapan orang tua akan memberkati anak-anaknya mendapat kehidupan yang manis. Dalam upacara penguburan orang tua yang meninggal dan sudah mendapat status sebagai sarimatua atau saurmatua, biasanya kuburan yang disebut tambak ditanami sejenis tanaman bakung. Upacara menanam bakung ini disebut sebagai manuan ompuompu akan disertai dengan menuangkan tuak na tonggi dan air bersih ke tambak tersebut. Demikianlah peran tuak dalam tatanan adat-istiadat Bangsa Batak, akan tetapi untuk penyembahan kepada Mulajadi Nabolon dan para dewa-dewi penghuni Banua Ginjang, penyediaan tuak tidak dilakukan karena dianggap sebagai hasil dari jelmaan Dewi Sorbajati yang membangkang.

Proses penyadapan tuak dari bagot disebut mar-ragat biasanya dilakukan oleh seorang par-ragat dengan melakukan ritual-ritual tertentu. Setiap par-ragat memahami bahwa bagot adalah jelmaan dewi yang harus dibujuk rayu agar mau memberikan tetesan air susunya yang disebut tuak. Tangkai tandan bunga jantan yang akan diragat biasanya dielus-elus dan digoyang-goyang serta diketuk-ketuk dengan sepotong kayu sambil dinyanyi-nyanyikan syair rayuan yang berbunyi:

“Boru Sorbajati siboru nauli, Boru na so ra jadi na uli diagati”

Demikianlah syair pantun tersebut dinyanyikan berulang-ulang sampai dirasa Siboru Sorbajati dianggap sudah termakan bujuk rajuan oleh par-ragat. Bila rayuan itu memang diterima oleh Dewi Sorbajati maka diyakini penyadapan akan berlangsung lama berbulan-bulan dan menghasilkan tuak yang banyak dari satu tandan. Penyadapan biasanya dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore harinya dengan menampung tetesan tuak dalam sebuah wadah yang terbuat dari bambu yang disebut poting.

Apabila seorang par-ragat mampu menghasilkan 10 botol untuk dua kali panen sehari, dan dengan formula racikan 1-8 maka akan dihasilkan jumlah tuak sebanyak 80 botol yang setara dengan 160 gelas. Satu gelas tuak di bonapasogit berharga Rp 1000, sehingga seorang par-ragat akan mendapat penghasilan sebesar Rp 160.000 per hari. Bila penyadapan dapat berlangsung selama 2 bulan untuk satu tandan, maka setiap tandan bagot bagi par-ragat akan mampu berpenghasilan senilai Rp 9.600.000, suatu penghasilan yang fantastis! Beginilah apabila seorang Batak mau menghargai budaya leluhurnya, maka seorang dewi murtad seperti Siboru Sorbajati akan bersedia memberikan rejeki berlimpah kepada yang mau dan mampu bersikap rendah hati merayu rejeki. Kalau tandan yang dihasilkan oleh satu pohon bagot mencapai 3-5 tandan sebelum pohon itu mati, bahkan batang dan inti batang serta serabut dan lidinya masih dapat termanfaatkan, maka secara kasar satu pohon akan bernilai setara dengan Rp 50.000.000. Sungguh fantastis dan sangat tinggi nilai ekonomis sebuah pohon bagot jelmaan Dewi Sorbajati.

Itulah riwayat tuak yang bahasa kerennya disebut palm wine ternyata bermakna tinggi bagi Bangsa Batak dan pohon bagot yang banyak tumbuh di Tanah Batak ternyata secara ekonomis sangat menggiurkan. Siapa mau invest? Silahkan kalkulasi prospektifnya. Horas.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More